Senin, 14 Januari 2019

KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI BIAYA PENDIDIKAN

KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI BIAYA PENDIDIKAN

Disusun oleh:
Abdul Fatah, M.Pd.



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Pengelolaan pendidikan semakin berkembang dalam banyak hal, termasuk strategi pembiayaan yang semakin ketat karena harus mencapai derajat mutu pendidikan yang terbaik. Salah satu faktor yang cukup memberikan pengaruh terhadap mutu dan kesesuaian pendidikan adalah anggaran pendidikan yang memadai. Persoalan anggaran pendidikan ini akan menyangkut besarnya anggaran dan alokasi anggaran.[1] Dengan adanya anggaran pendidikan sebuah lembaga pendidikan dapat menyusun alokasi dana yang dibutuhkan untuk menopang seluruh kegiatan sehingga sesuai dengan target yang diharapkan.
Pembiayaan pendidikan memang sangat mahal dengan asumsi jika kita menginginkan sebuah lembaga yang berkualitas maka harus didukung dengan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, peningkatan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, dana operasioanl yang cukup, kenyamanan bagi kegiatan pembelajaran peserta didik dan fasilitas yang lengkap. Hal ini akan dapat terwujud apabila ditunjang dengan anggaran yang memadai. Kenyataan tersebut telah dibuktikan oleh lembaga pendidikan yang ada disekitar kita dengan adanya kemapanan biaya sebuah lembaga pendidikan dapat memenuhi kebutuhan sesuai standar pengelolaan pendidikan. Sehingga dapat menopang proses pembelajaran yang maksimal dengan harapan dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas. Namun sebuah pembiayaan yang tepat tidak mungkin terjadi apabila kita tidak memiliki dasar atau pengetahuan tentang itu.
Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan, biaya pendidikan memiliki peran yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan tidak akan berjalan. Biaya dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga.
Pembiayaan pendidikan sangat penting untuk perencana pendidikan dan para pembuat kebijakan pendidikan.[2] Untuk dapat menentukan rencana pembiayaan yang tepat maka kita harus memiliki ilmu dan mau mempelajari tentang dasar pembiayaan pendidikan, ruang lingkup pembiayaan pendidikan dan karakteristik biaya pendidikan. Apabila kita memiliki ilmu tentang dasar pembiayaaan pendidikan, ruang lingkup pembiayaan pendidikan dan karakteristik pembiayaan pendidikan dapat membuat estimasi yang tepat dan mampu memilah kebutuhan yang harus diutamakan.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apakah definisi pembiayaan pendidikan?
2.    Bagaimana karakteristik pembiayaan pendidikan?
3.    Bagaimana klasifikasi biaya pendidikan?
4.    Apa saja faktor yang mempengaruhi pembiayaan pendidikan?
C.      Tujuan
1.    Untuk mengetahui definisi pembiayaan pendidikan.
2.    Untuk mengetahui karakteristik pembiayaan pendidikan.
3.    Untuk mengetahui klasifikasi biaya pendidikan.
4.    Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pembiayaan pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Definisi Pembiayaan Pendidikan
Kata biaya dalam pendidikan jika diimplementasikan merupakan
sebuah proses sehingga disebut dengan pembiayaan. Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dari kata asli biaya ditambah awalan pe dan akhiran an.[3]
Menurut para ahli defnisi pembiayaan pendidikan sebagai berikut:
1.    Thomas H. Jones menyatakan Pembiayaan pendidikan pada dasarnya adalah menitikbertakan upaya pendistribusikan beneft pendidikan dan beban yang harus ditanggung masyarakat. Pembiayaan pendidikan berhubungan dengan distribusi distribusi beban pajak dalam berbagai jenis pajak, kelompok manusia serta metode pengalihan pajak ke sekolah. Hal yang penting dalam pembiayaan pendidikan adalah berupa besar uang yang harus dibelanjakan dari mana sumber uang diperoleh, dan kepada siapa uang harus dibelanjakan.[4]
2.    Nanang Fatah mengutarakan pembiayaan pendidikan merupakan jumlah uang yang dihasilkan dan dibelanjakan untuk berbagai keperluan penyelenggaraan pendidikan yang mencakup gaji guru, peningkatan profesional guru, pengadaan sarana ruang belajar, perbaikan ruang pengadaan peralatan/mobile, pengadaan alat-alat dan buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK), kegiatan ekstrakulikuler, kegiatan pengelolaan pendidikan, dan supervisi pendidikan.[5]
3.    Dedi Supriadi menyatakan biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan di sekolah tidak akan berjalan. Biaya dalam pendidikan memiliki cakupan
yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga yang dapat dihargakan dengan uang. Dalam pengertian ini misalnya iuran siswa adalah jelas merupakan biaya, tetapi sarana fsik, buku sekolah dan guru juga adalah biaya.[6]
Dari pengertian-pengertian di atas pembiayaan pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk membiayai segala hal yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh kegiatan dalam pendidikan baik yang bersifat langsung ataupun tidak langsung.
B.       Karakteristik Biaya Pendidikan
Beberapa hal yang merupakan karakteristik atau ciri-ciri pembiayaan pendidikan adalah:[7]
1.    Biaya pendidikan selalu naik, perhitungan pembiayaan pendidikan dinyatakan dalam satuan unit cost, yang meliputi:
a.       Unit cost lengkap, yaitu perhitungan unit cost berdasarkan semua fasilitas yang dikeluarkan untuk peyelenggaraan pendidikan termasuk gedung, halaman sekolah, lapangan, gaji guru, gaji personil, pembiayaan bahan dan alat dihitung keseluruhan program baik yang tergolong dalam kurikulum maupun ekstrakurikuler.
b.      Unit cost setengah lengkap, yaitu hanya memperhitungkan biaya kebutuhan yang berkenaan dengan bahan dan alat yang berangsur habis walaupun jangka waktunya berbeda.
c.       Unit cost sempit, yaitu unit cost yang diperoleh hanya dengan melakukan memperhitungkan biaya yang langsung berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar menyangkut buku, alat pelajaran dan alat peraga. Dengan memperhitungkan unit cost ini maka diketahui manakah diantara bidang-bidang pelajaran yang diberikan di suatu sekolah yang paling mahal unit cost-nya.
2.    Biaya terbesar dalam pelaksanaan pendidikan adalah biaya pada faktor manusia. Pendidikan dapat dikatakan sebagai “Human Investmen”, yang artinya biaya terbesar diserap oleh tenaga manusia.
3.    Unit cost pendidikan akan naik sepadan dengan tingkat sekolah.
4.    Unit cost pendidikan dipengaruhi oleh jenis lembaga pendidikan. Biaya sekolah kejuruan lebih besar daripada biaya untuk sekolah umum.
5.    Komponen yang dibiayai dalam sistem pendidikan hampir sama dari tahun ke tahun.
C.      Klasifikasi Biaya Pendidikan
1.    Biaya dalam pendidikan dapat diklasifkasikan menurut Anwar menjadi biaya yang bersifat langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang yang dikorbankan oleh siswa selama belajar.[8] Pembiayaan pendidikan ada yang berupa biaya bugetair dan biaya non bugetair. Pembiayaan yang bersifat bugetair yaitu biaya yang diperoleh dan dibelanjakan oleh sekolah sebagai suatu lembaga sedangkan biaya non bugetair yaitu biaya pendidikan yang dibelanjakan oleh murid, orang tua / keluarga dan biaya kesempatan pendidikan.[9]
2.   Disamping biaya langsung dan biaya tidak langung dikenal juga menurut kategori private cost dan sosial cost. Private cost adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai sekolah anaknya termasuk di dalamnya forgone opportunities. Sedangkan social cost dapat dikatakan sebagai biaya publik yaitu sejumlah biaya sekolah yang dibayar masyarakat.[10]
3.    Biaya pendidikan juga dapat digolongkan menjadi monetary dan non monetary cost. Monetary cost merupakan nilai pengorbanan yang terwujud dalam pengeluaran uang sedangkan non monetarry cost adalah nilai pengorbanan yang tidak diwujudkan dengan pengeluaran uang seperti biaya yang diperhitungkan dimana seorang siswa tidak mengambil kesempatan waktu senggangnya untuk bersenang-senang tetapi digunakan untuk membaca buku.[11]
4.    Dilihat dari sifatnya biaya dapat dibedakan menjadi biaya rutin dan biaya investasi atau pembangunan. Dalam sistem anggaran di Indonesia, alokasi biaya rutin pada lembaga-lembaga pendidikan dituangkan dalam daftar isian kegiatan. Penyaluran subsidi pemerintah ke satuan-satuan pendidikan dapat berupa uang yang jelas peruntukannya , dana tambahan berbentuk hibah, atau berupa tenaga dan barang seperti guru/ tenaga kependidikan, buku-buku pelajaran dan perlengkapan sekolah.[12]
5.    Pendanaan pendidikan sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 48 tahun 2008 tentang Penganggaran Pendidikan dinyatakan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Biaya pendidikan dibagi menjadi :
a.       Biaya Satuan Pendidikan, adalah biaya penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan yang meliputi biaya investasi, biaya operasional, bantuan biaya pendidikan dan beasiswa.
b.      Biaya Penyelenggaraan dan/ atau Pengelolaan Pendidikan, adalah biaya penyelenggaraan dan/ atau pengelolaan pendidikan oleh pemerintah, pemprov, pemko/ pemkab, atau penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat/ Yayasan.
c.       Biaya Pribadi Peserta Didik, adalah biaya operasional yang meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bias mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
D.      Faktor Yang Mempengaruhi Biaya Pendidikan
1.    Faktor Eksternal, yaitu faktor yang ada di luar sistem pendidikan yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.    Berkembangnya demokrasi pendidikan
Dahulu banyak Negara yang masih dijajah oleh bangsa lain yang tidak memperbolehkan penduduknya untuk menikmati pendidikan. Denganlepasnya bangsa itu dari cengkeraman penjajah, terlepas pula kekangan atas keinginan memperoleh pendidikan. Di Indonesia, demokrasi pendidikan dirumuskan dengan jelas dalam pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2. Konsekuensi dari adanya demokrasi itu maka pemerintah menyediakan dana yang cukup untuk itu
b.    Kebijaksanaan pemerintah
Pemberian hak kepada warga Negara untuk memperoleh pendidikan merupakan kepentingan suatu bangsa agar mampu mempertahankan dan mengembangkan bangsanya. Namun demikian, agar tujuan itu tercapai pemerintah memberikan fasilitas-fasilitas berupa hal-hal yang bersifat meringankan dan menunjang pendidikan. Misalnya pemberian pembiayaan yang besar bagi pendirian gedung dan kelengkapannya, meringankan beban siswa dalam bentuk bantuan SPP dan pengaturan pemungutan serta beasiswa, kenaikan gaji guru dan lain sebagainya.
c.    Tuntutan akan pendidikan
Kenaikan tuntutan akan pendidikan terjadi dimana-mana. Di dalam negeri tuntutan akan pendidikan ditandai oleh segi kuantitas yaitu semakin banyaknya orang yang menginginkan pendidikan dan segi kualitas yaitu naiknya keinginan memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
d.   Adanya inflasi
Inflasi adalah keadaan menurunnya nilai mata uang suatu negara. Faktor inflasi sangat berpengaruh terhadap biaya pendidikan karena harga satuan biaya tentunya naik mengikuti kenaikan inflasi.
2.    Faktor Internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam sistem pendidikan itu sendiri yang sepenuhnya mempengaruhi besarnya biaya pendidikan. Faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
a.    Tujuan pendidikan
Sebagai salah satu contoh bahwa tujuan pendidikan berpengaruh terhadap besarnya biaya pendidikan adalah tujuan institusional suatu lembaga pendidikan. Berubahnya tujuan pendidikan kea rah penguasaan 10 kompetensi dibandingkan dengan tujuan yang mempengaruhi besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
b.    Pendekatan yang digunakan
Strategi belajar mengajar menuntut dilaksanakannya praktek bengkel dan laboratorium menuntut lebih banyak biaya jika dibandingkan dengan metode lain dan pendekatan secara individual.
c.    Materi yang disajikan
Materi pelajaran yang menuntut dilaksanakan praktek bengkel menuntut lebih banyak biaya dibandingkan dengan materi pelajaran yang hanya dilaksanakan dengan penyampaian teori.
d.   Tingkat dan jenis pendidikan
Dua dimensi yang berpengaruh terhadap biaya pendidikan adalah tingkat dan jenis pendidikan. Dengan dasar pertimbangan lamanya jam belajar, banyak ragamnya bidang pelajaran, jenis materi yang diajarkan, banyaknya guru yang terlibat, tuntutan terhadap kompetensi lulusannya.

BAB III
KESIMPULAN
A.      Kesimpulan
1.    Pembiayaan pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk membiayai segala hal yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh kegiatan dalam pendidikan baik yang bersifat langsung ataupun tidak langsung.
2.    Beberapa hal yang merupakan karakteristik atau ciri-ciri pembiayaan pendidikan adalah: a) Biaya pendidikan selalu naik, perhitungan pembiayaan pendidikan dinyatakan dalam satuan unit cost, yang meliputi: unit cost lengkap, unit cost setengah lengkap, dan unit cost sempit; b) Biaya terbesar dalam pelaksanaan pendidikan adalah biaya pada faktor manusia; c) unit cost pendidikan akan naik sepadan dengan tingkat sekolah; d) unit cost pendidikan dipengaruhi oleh jenis lembaga pendidikan; e) Komponen yang dibiayai dalam sistem pendidikan hampir sama dari tahun ke tahun.
3.    Klasifikasi biaya pendidikan, meliputi: a) biaya yang bersifat langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost); b) biaya pribadi dan biaya masyarakat (private cost and social cost); c) monetary dan non monetary cost; d) biaya rutin dan biaya investasi atau pembangunan.
4.    Faktor yang mempengaruhi pembiayaan pendidikan meliputi: a) faktor eksternal, yaitu: berkembangnya demokrasi pendidikan, kebijaksanaan pemerintah, tuntutan akan pendidikan, dan adanya inflasi; b) faktor internal, yaitu: tujuan pendidikan. pendekatan yang digunakan, materi yang disajikan, dan tingkat dan jenis pendidikan.
B.       Saran
1.    Setiap lembaga pendidikan mempunyai karakteristik dan strategi yang berbeda-beda dalam mengelola anggaran pendapatan dan belanja sekolah. Apalagi dewasa ini lembaga pendidikan dituntut untuk lebih maju dalam berbagai aspek, khususnya masalah mutu. Salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan adalah sumber dana yang mencukupi. Dengan dana yang sesuai, maka dimungkinkan sekolah akan dapat meningkatkan kualitasnya.
2.    Pembiayaan sebagai salah satu komponen sistem pendidikan memerlukan kajian pemikiran yang lebih mendalam dan penelitian yang lebih cermat, upaya menggunakan dana secara tepat untuk suatu pengeluaran pendidikan yang tidak dapat dihindarkan, inheren pada hasil dan dapat diduga sebelumnya adalah salah satu usaha untuk menempatkan biaya pendidikan yang tepat dan sebenar-benarnya. Sehingga akan terlihat secara langsung pengaruhnya terhadap kuantitas maupun kualitas hasil pendidikan
C.      Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, dalam segala rangkaian kata-kata dari awal hingga akhir tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu tidak ada usaha yang lebih berharga kecuali melakukan kritik konstruktif setiap elemen pembangun dalam makalah ini, demi perbaikan dan kebaikan semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada pembaca pada umumnya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moch. Idochi, 2003, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan, CV. Alfabeta, Bandung.
Depdikbud, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Fattah, Nanang, 2004, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Hasbullah, 2010, Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan.
Kisbiyanto, 2008, Analisis Pembiayaan dalam Pendidikan, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Edukasia, Kudus, Juli-Desember.
Mulyono, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Ar Ruzz Media, Yogyakarta, 2010.
Suharsimi Arikunto, Lia Yuliana, 2008, Manajemen Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta.
Supriyadi, Dedi, 2003, Satuan Biaya Pemdidikan Dasar dan Menengah, Remaja Rosdakarya.


[1] Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, 2010, hlm. 45
[2] Kisbiyanto, Analisis Pembiayaan dalam Pendidikan, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Edukasia, Kudus, Juli-Desember 2008, hlm. 102
[3] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995
[4] Mulyono, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Ar Ruzz Media, Yogyakarta, 2010, hlm. 77-78
[5] Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 23
[6] Dedi Supriyadi, Satuan Biaya Pemdidikan Dasar dan Menengah, Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 3-4
[7] Suharsimi Arikunto, Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 320-321
[8] Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan, CV. Alfabeta, Bandung, 2003, hlm. 140
[9] Nanang Fattah, Op.Cit., hlm. 83
[10] Moch. Idochi Anwar, Op.Cit., hlm. 159-160
[11] Ibid, hlm. 160
[12] Dedi Supriyadi, Op.Cit., hlm. 4-5

Minggu, 13 Januari 2019

IMPLEMENTASI TQM DALAM PENDIDIKAN ISLAM TINJAUAN APLIKATIF (PRAKTIS)

IMPLEMENTASI  TQM  DALAM PENDIDIKAN ISLAM TINJAUAN APLIKATIF (PRAKTIS)


Disusun Oleh:
Abdul Fatah, M.Pd.



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Banyak masalah mutu yang dihadapi dalam dunia pendidikan, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, bimbingan dan latihan dari guru, serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pimpinan pendidikan, keterbatasan dana, sarana, dan prasarana, fasilitas pendidikan, media, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah, lingkungan pendidikan, serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan. Mutu lulusan yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti lulusan tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan tidak produktif.
Sehubungan dengan persoalan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai  peraturan perundang – undangan yang mendorong peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Undang – undang Sisdiknas nomor 20 Tahun 2003 mengaskan bahwa pengendalian dan evaluasi mutu pendidikan harus dilakukan, baik terhadap program maupun terhadap institusi pendidikan secara berkelanjutan. Begitu pula dalam peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 dijelaskan bahwa penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) untuk mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. dengan manajemen yang baik satuan pendidikan akan berhasil memenuhi tuntutan  mutu atau kualitas pendidikan  yang sesuai dengan standar nasional pendidikan, sehingga melalui manajemen yang baik diharapkan menghasilkan kualitas pendidikan yang baik.
Lembaga pendidikan Islam sebagai wadah proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam sekaligus pemegang amanat pendidikan Nasional pun bermasalah dengan mutu, banyaknya lulusan lembaga pendidikan Islam yang tidak berprestasi dan kurang tertanamnya nilai-nilai Islami menjadi bukti mutu lembaga pendidikan Islam belum sesuai harapan, dalam upaya perbaikan memerlukan Total Quality Manajemen (TQM) dalam rangka menjamin lulusannya sesuai dengan tujuan visi dan misi lembaga pendidikan Islam.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian implementasi TQM?
2.      Bagaimana TQM dalam dunia pendidikan?
3.      Bagaimana prinsip implementasi TQM dalam lembaga pendidikan?
4.      Bagaimana pilar TQM dalam lembaga pendidikan?
5.      Bagaimana langkah-langkah implementasi TQM dalam lembaga pendidikan?
6.      Bagaimana kegagalan dalam implementasi TQM?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Implementasi TQM
Total Quality Manajemen (TQM) ini sekarang sedang marak dibicarakan dimana-mana. Sebelum membicarakan lebih lanjut bagaimana implementasi TQM dalam pendidikan, kita harus memahami dulu apa dan bagaimana pengertian “implementasi” kemudian kita sandingkan dengan pengertian Total Quality Manajemen (TQM) sehingga dapat ditarik pengertian yang utuh.
Dalam Kamus Ilmiah Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa pengertian “implementasi” adalah penerapan; penggunaan implemen dalam kerja; pelaksanaan; pengerjaan hingga menjadi terwujud; pengejawantahan; dan penerapan implemen.[1]
Kemudian untuk TQM (Total Quality Manajemen) sendiri, Soewarso Hardjosoedarmo memberikan pengertian yang cukup menyeluruh, bahwa TQM adalah penerapan metode kuantitatif dan pengetahuan kemanusiaan untuk: 1) memperbaiki material dan jasa yang menjadi masukan organisasi, 2) memperbaiki semua proses penting dalam organisasi, dan 3) memperbaiki upaya memenuhi kebutuhan para pemakai produk dan jasa pada masa kini dan waktu yang akan datang.[2] Dalam sumber yang lain, Veithzal Rivai menjelaskan, bahwa TQM adalah satu himpunan prinsip-prinsip, alat-alat dan prosedur-prosedur yang memberikan tuntunan dalam praktik penyelenggaraan organisasi. TQM melibatkan seluruh anggota organisasi dalam mengendalikan dan secara kontinu meningkatkan bagaimana kerja harus dilakukan dalam upaya mencapai harapan pengguna atau pelanggan (customer) mengenai mutu produk atau jasa yang dihasilkan organisasi.[3]
Dari beberapa pengertian ini, bisa kita ambil pemahaman, bahwa Implementasi Total Quality Manajeman (TQM) adalah penerapan atau pengejawantahan konsep manajemen yang melibatkan seluruh komponen dalam organisasi untuk bersama-sama berkontribusi dalam kebijakan organisasi yang berorientasi pada perbaikan mutu produk untuk kepuasan pelanggan (customer).
B.  TQM dalam Lembaga Pendidikan
Konsep TQM awalnya berasal dan diimplementasikan dalam dunia usaha atau bisnis. Akan tetapi, seiring berkembangnya waktu, maka konsep ini mulai diberlakukan di berbagai macam organisasi, termasuk pada lembaga pendidikan. Hal itu dikarenakan konsep ini tidak hanya bisa bekerja secara spesifik pada perusahaan saja, tetapi sesuai juga pada bentuk organisasi lainnya, mungkin yang berbeda di sini adalah produk yang dihasilkan, tergantung apa jenis organisasinya.
Ada beberapa pertimbangan yang dijadikan landasan penerapan TQM di lembaga pendidikan. Para pendidik harus bertanggung jawab terhadap tugas mereka secara proaktif. Mereka harus mengembangkan proses pemecahan masalah yang masuk akal dan dapat mengidentifikasi serta menuju pada penyebab utamanya. Sekolah harus mampu menjadi organisasi percontohan dan dapat mengukur apa saja yang berfungsi dengan baik dan apa yang tidak, sehingga akan didapatkan suatu sistem yang baik dalam kelembagaan sekolah. Ada empat alasan utama dalam adopsi TQM di lembaga pendidikan, antara lain:[4]
1.    Para pendidik harus bertanggung jawab terhadap tugas dan fungsi mereka, karena para pendidik merupakan faktor utama bagi peningkatan sekolah. Para pendidik harus mengendalikan proses penyelesaian masalah yang berdampak pada lingkungan belajar di sekolah.
2.    Pendidikan membutuhkan proses pemecahan masalah yang peka dan fokus pada identifikasi dan penyelesaian penyebab utama yang menimbulkan masalah tersebut. Semua akar dalam masalah pendidikan bersifat sistemik, yaitu berasal dari akar masalah yang berada dari komunitas sekolah dan berimplikasi pada kegiatan belajar mengajar di sekolah itu sendiri.
3.    Organisasi sekolah harus menjadi model organisasi belajar semua organisasi.
4.    Melalui integrasi TQM di lembaga pendidikan, masyarakat dapat menemukan mengapa sistem pendidikan yang ada saat ini tidak berjalan dengan baik.
C.  Prinsip Implementasi TQM dalam Pendidikan
Sekolah yang menerapkan Total Quality Manajeman (TQM), sekolah tersebut harus melaksanakan program mutu pendidikan dengan berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:[5]
1.    Berfokus pada konsumen
Setiap orang di sekolah harus memahami, bahwa setiap produk pendidikan mempunyai pengguna (customer). Setiap anggota dari sekolah adalah pemasok (supplier) dan pengguna (customer). Pelanggan disini ada dua, yaitu pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan internal meliputi orang tua siswa, siswa, guru, administrator, staff dan majlis sekolah. Pelanggan eksternal, seperti masayarakat, pemimpin perusahaan-industri, lembaga pemerintah, lembaga swasta, dan perguruan tinggi
2.    Keterlibatan menyeluruh
Semua orang dalam lembaga pendidikan harus terlibat dalam transformasi mutu, manajemen harus berkomitmen dan terfokus pada peningkatan mutu.
3.    Pengukuran
Dalam paradigma baru, para profesional pendidikan harus belajar mengukur mutu pendidikan dari kemampuan dan kinerja lulusan berdasarkan penggguna (customer). Melalui pengumpulan dan analisis data, para profesional pendidikan akan mengetahui nilai tambah dari pendidikan, kelemahan dan hambatan yang dihadapi, serta upaya penyempurnaannya.
4.    Pendidikan sebagai sistem
Pendidikan sebagai sistem memiliki sejumlah komponen, seperti siswa, guru, kurikulum, sarana-prasarana, media, sumber belajar, orang tua dan lingkungan. Di antara komponen-komponen tersebut, terjalin hubungan yang yang berkesinambungan dan keterpaduan dalam pelaksanaan sistem.
5.    Perbaikan yang berkelanjutan
Dalam filsafat mutu, menganut prinsip, bahwa setiap proses perlu diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna, perlu selalu diperbaiki dan disempurnakan.
D.  Pilar TQM dalam Lembaga Pendidikan
Dalam mengimplemantasikan TQM di lembaga pendidikan, kita tidak boleh meninggalkan lima pilar yang sangat menentukan tegaknya organisasi kelembagaan dalam rangka menghasilkan produk yang berkualitas. Prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar 5 pilar sistem yaitu; Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan, dan Komitmen.
Lima pilar utama TQM disini adalah adanya produk yang dihasilkan, proses yang dilakukan dalam menghasilkan produk dan, organisasi yang digerakkan oleh seorang pemimpin, serta adanya komitmen di antara para pemimpin di dalam suatu organisasi. Istilah manager dan pemimpin janganlah dicampur adukkan, karena kepemimpinan merupakan salah satu bagian dari manajemen. Manajer melaksanakan fungsi-fungsi pengawasan, termasuk dalam fungsi itu adalah perlunya memimpin dan mengarahkan.[6]
Jadi, antara pemimpin dan manajer adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kemudian, berjalannya lima pilar ini sangat menentukan keberhasilan implementasi TQM di lembaga pendidikan dan yang menggerakkannya tiada lain adalah pimpinan tertinggi di sekolah. Untuk itu, fungsi dan peran pemimpin untuk menggerakkan sistem mutu ini sangat penting adanya.
E.  Langkah-Langkah Implementasi TQM dalam Pendidikan
Dalam Total Quality Management (TQM) atau kalau kita terjemahkan adalah Manajemen Mutu Terpadu (MMT), sekolah dipahami sebagai unit layanan jasa, yaitu pelayanan pembelajaran.[7] Jasa merupakan segenap kegiatan ekonomi yang menghasilkan output (keluaran) berupa produk (hasil karya) non fisik, yang lazimnya dikonsumsi pada saat diproduksi dan memberi nilai tambah pada bentuk (form), seperti kepraktisan, kecocokan, kepantasan, kenyamanan dan kesehatan, yang pada intinya menarik cita rasa pada pembeli pertama. Jasa pendidikan di sini merupakan jasa yang bersifat kompleks karena bersifat padat karya dan padat modal. Artinya, dibutuhkan banyak tenaga kerja yang memiliki skill khusus dalam bidang pendidikan dan padat modal karena membutuhkan infrastruktur (peralatan) yang lengkap.
Sebagai unit layanan jasa, yang dilayani sekolah adalah: 1) pelanggan internal: guru, pustakawan, teknisi dan tenaga administrasi; 2) pelanggan eksternal: pelanggan primer (siswa), pelanggan sekunder (orang tua, pemerintah dan masyarakat) dan pelanggan tersier (pemakai/penerima lulusan di perguruan tinggi maupun dunia usaha).
Dalam dunia pendidikan atau lebih tepatnya dalam lembaga pendidikan, konsep Total Quality Management (TQM) ini dapat diimplementasikan dengan beberapa fase teoritik sebagaimana klasifikasi yang disampaikan Goetsch dan Davis (1994), yaitu fase persiapan, fase perencanaan, dan fase pelaksanaan. Penjabarnnya sebagai berikut:
1.    Fase Persiapan[8]
Fase ini terdiri dari 10 langkah, yang mana sebelum langkah pertama dimulai, syarat utama yang harus dipenuhi adalah adanya komitmen penuh dari manajemen puncak atas waktu dan sumber daya yang dibutuhkan. Langkah-langkahnya antara lain:
a.    Membentuk Total Quality Steering Committee (SC). Pimpinan puncak menunjuk staf terdekat (bawahan langsungnya) untuk menjadi anggota steering committee (SC), kemudian ia sendiri menjadi ketuanya.
b.    Membentuk Tim. Steering Committee perlu mengadakan suatu sesi pembentukan tim sebelum memulai kegiatan TQM. Biasanya, langkah ini membutuhkan konsultan. Kalau dalam pendidikan, perlu didatangkan dari luar seorang konsultan pendidikan. Lebih baik sesi ini dilakukan di luar lembaga pendidikan. Agar bisa lebih fokus melakukan pembahasan tanpa mengganggu proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar).
c.    Pelatihan TQM. SC (Steering Commitee) membutuhkan pelatihan yang berkaitani dengan filosofi, teknik dan alat-alat TQM sebelum memulai aktifitas TQM. Dalam pelatihan ini, perlu mendatangkan pula seorang konsultan. Kemudian pada jangka panjangnya, juga diadakan pelatihan yang serupa sebagai follow up dari pelatihan yang pertama.
d.   Menyusun Pernyataan Visi dan Prinsip sebagai Pedoman. Usaha yang pertama dalam TQM adalah penyusunan visi organisasi dan pedoman operasi organisasi.
e.    Menyusun Tujuan Umum. SC menyusun tujuan umum dari organisasi (perusahaan atau sekolah) berdasarkan pernyataan visi yang telah ditetapkan.
f.     Komunikasi dan Publikasi. Pemimpin puncak dan SC perlu mengkomunikasikan setiap informasi mengenai visi dan misi, prinsip-prinsip sebagai pedoman, tujuan dan konsep TQM.
g.    Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan. SC harus secara obyektif mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi. Ini sangat penting untuk mencari pendekatan terbaik dalam pelaksanaan TQM dan bisa untuk menyoroti kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki. Kemudian melakukan perbaikan-perbaikan strategis ke depannya.
h.    Identifikasi Pendukung dan Penolak. Langkah ini bisa dilakukan bersamaan dengan langkah identikasi kelemahan dan kekuatan atau sesudahnya. Di sini, SC mengidentifikasi orang-orang kunci yang mungkin menjadi penolak dan pendukung TQM. Terutama untuk anggota penolak TQM, ini dimungkinkan terjadi, karena ada kemungkinan orang tersebut belum paham dan siap dengan konsep TQM yang telah dijalankan. Dalam hal ini perlu dicari akar permasalahannya dan diadakan langkah-langkah untuk meminimalisirnya.
i.      Memperkirakan Sikap Karyawan. Dengan bantuan personalia atau konsultan luar, SC perlu berusaha memperkirakan sikap karyawan pada saat ini. Pimpinan perlu memberikan judgment yang obyektif. Jika itu sudah dilakukan, akan dapat diketahui apakah TQM berjalan atau tidak.
j.      Mengukur Kepuasan Pelanggan. SC perlu berusaha mendapatkan umpan balik obyektif dari para pelanggan guna menentukan tingkat kepuasan mereka. Survai kepada pelanggan sebaiknya dilakukan secara acak.
2.    Fase Perencanaan[9]
Dalam fase ini ada empat (4) langkah yang harus dijalani secara sistematis. Karena semuanya membentuk sistem yang saling mempengaruhi. Adapun langkah-langkahnya adalah:
a.    Merencanakan pendekatan implementasi, kemudian menggunakan siklus Plan – Do – Check – Adjust. Pada langkah ini, SC merencanakan implementasi TQM. Langkah ini bersifat terus-menerus, karena pada saat aktivitas pembelajaran berlangsung, informasi-informasi umpan balik akan dikembalikan pada langkah ini untuk melakukan perbaikan, peyesuaian, dan sebagainya.
b.    Identifikasi Proyek. SC bertanggung jawab untuk memilih proyek atau program kegiatan awal TQM, yang didasarkan pada kekuatan dan kelemahan perusahaan, personil yang terlibat, visi dan tujuan, dan kemungkinan keberhasilannya.
c.    Komposisi Tim. Steering Committee membentuk komposisi tim-tim yang akan melaksanakan program TQM tersebut.
d.   Pelatihan Tim. Sebelum tim yang baru terbentuk untuk melaksanakan tugasnya, mareka harus dilatih terlebih dahulu. Pelatihan yang diberikan harus mencakup dasar-dasar TQM dan instrumen yang sesuai untuk melaksanakan program kegiatan yang akan mereka laksanakan.
3.    Fase Pelaksanaan[10]
a.    Penggiatan Tim. Steering Committee memberikan bimbingan kepada setiap tim dan mengaktifkan mereka. Masing-masing tim menggunakan teknik TQM yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan siklus Plan-Do-Check-Action sebagai model proses TQM.
b.    Umpan balik kepada Steering Committee. Masing-masing tim memberikan informasi umpan balik dari pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. Survai formal pelanggan perlu dilakukan setiap tahun. Data yang diperoleh mengenai kepuasan pelanggan dikumpulkan dan diproses secara berkesinambungan.
c.    Umpan balik dari Karyawan. Setiap tim yang berada dibawah kontrol SC secara periodik memantau sikap dan kepuasan karyawan yang ada dibawahnya. Kemudian mengadakan komunikasi intensif dengan steering committee.
d.   Memodifikasi Infrastruktur. Umpan balik yang diperoleh dari langkah-langkah di atas (dari tim proyek, pelanggan dan karyawan) akan dijadikan dasar oleh steering committee untuk melakukan perubahan yang diperlukan dalam infrastruktur lembaga pendidikan.
Kemudian pada tataran praktis, implementasi dari konsep teoritis di atas dapat dikembangkan dalam konteks lembaga pendidikan. Kadang-kadang, terjadi kesulitan ketika menerapkan konsep TQM yang memang dari awalnya berasal dari dunia bisnis perusahaan. Oleh karena itu, Edward Sallis memberikan langkah-langkah yang sangat bermanfaat bagi pengelola pendidikan untuk dapat mengimplemantasikan konsep tersebut dalam sebuah lembaga pendidikan. Adapun langkah-langkahnya antara lain sebagai berikut:[11]
a.    Kepemimpinan dan komitmen mutu harus datang dari atas. Seluruh tokoh mutu menekankan bahwa tanpa dukungan dari manajemen senior, maka sebuah inisiatif mutu tidak akan bertahan hidup. Kepala sekolah harus menunjukkan komitmen yang kuat dan selalu memotivasi supervisor lainnya agar selalu berupaya keras dan serius dalam meningkatkan mutu ini.
b.    Menggembirakan pelanggan adalah tujuan TQM. Hal ini dapat dicapai dengan usaha yang terus-menerus untuk mencapai tujuan pelanggan, baik eksternal maupun internal. Kemudian pandangan dari orang yang tidak bergabung di institusi juga dikumpulkan. Informasi dari konsultasi ini harus disusun dan dianalisis kemudian digunakan ketika membuat keputusan.
c.    Menunjuk fasilitator mutu. Fasilitator mutu harus menyampaikan perkembangan mutu langsung kepada kepala sekolah. Tanggung jawab fasilitator adalah mempublikasikan program dan memimpin kelompok pengendali mutu dalam mengembangkan program mutu.
d.   Membentuk kelompok pengendali mutu. Kelompok ini harus merepresentasikan perhatian-perhatian kunci dan harus merupakan representasi dari tim manajemen senior. Perannya adalah untuk mengarahkan dan mendorong proses peningkatan mutu. Ia adalah pengembang ide sekaligus inisiator proyek.
e.    Menunjuk koordinator mutu. Dalam setiap inisiatif dibutuhkan orang-orang yang memiliki waktu untuk melatih dan menasehati orang-orang lain. Koordinator tidak mengerjakan seluruh proyek mutu. Perannya adalah untuk membantu dan membimbing tim dalam menemukan cara baru dalam menangani dan memecahkan masalah.
f.     Mengadakan seminar manajemen senior untuk mengevaluasi program. Pelatihan khusus dalam pendekatan strategis terhadap mutu mungkin dibutuhkan. Hal itu dikarenakan mereka perlu memberi contoh pada tim dalam memajukan institusi.
g.    Menganalisa dan mendiagnosa situasi yang ada. Proses ini tidak bisa diremehkan, karena ia sangat menentukan seluruh proses mutu. Seluruh institusi perlu menjelaskan dimana posisinya dan mana arah yang mereka tuju.
h.    Menggunkaan contoh-contoh yang sudah berkembang di tempat lain. Ini bisa berupa adaptasi dari salah satu “guru” mutu atau seorang tokoh pendidikan khusus atau yang mengadaptasi pola TQM yang diterapkan di tempat lain untuk kemudian diambil sisi positifnya dan bisa diterapkan di sekolah yang dipimpin.
i.      Mempekerjakan konsultan eksternal. Langkah ini sangat baik dilakukan, teruama jika ingin mencapai tingkat standar mutu internasional, semacam ISO. Akan tetapi biayanya cenderung mahal, hanya sekolah yang dengan sumber dana memadai yang bisa melakukan itu.
j.      Memprakarsai pelatihan mutu bagi para staf. Pelatihan adalah tahap implementasi awal yang sangat penting. Oleh karena itu setiap orang perlu dilatih dasar-dasar TQM. Staf membutuhkan pengetahuan tentang beberapa alat kunci yang mencakup tim kerja, metode evaluasi, pemecahan masalah, dan teknik pembuatan keputusan.
k.    Mengkomunikasikan pesan mutu. Strategi, relevansi dan keuntungan TQM harus dikomunikasikan secara efektif. Program jangka panjang harus dirancang secara jelas. Staf harus mendapatkan informasi atau laporan secara regular melalui surat kabar atau jurnal.
l.      Mengukur biaya mutu. Mengetahui biaya dalam implementasi program mutu merupakan hal yang penting. Demikian juga dengan biaya pengabaian mutu. Biaya tersebut bisa muncul dari berkurangnya jumlah pendaftar, kegagalan murid, kerusakan reputasi dan sebagainya. Pengujian terhadap biaya pengabaian mutu itu juga perlu dilakukan, agar disatu sisi tetap berpegang pada program mutu, di sisi lain juga ada kontrol terhadap biaya yang dikeluarkan.
m.  Mengevaluasi program dalam interval yang teratur. Evaluasi teratur harus menjadi bagian yang integral dalam program mutu. Evaluasi itu harus dilakukan enam bulan sekali secara teratur dan hasil dari evaluasi itu benar-bernar dijadikan bahan pertimbangan berjalannya program selanjutnya.
F.   Kegagalan Dalam Implementasi TQM[12]
Banyak lembaga pendidikan yang mampu menerapkan TQM, tetapi tidak sedikit pula yang gagal menerapkannya. Faktor-faktor yang menjadi penghalang bagi perusahaan atau sekolah dalam menerapkan TQM. Hal-hal yang perlu dihindari karena dapat menggagalkan proses TQM adalah sebagai berikut:
1.    Kesenjangan komitmen manajemen puncak
Manajemen puncak (kepala sekolah dan para wakilnya) tidak menghayati sepenuhnya arti TQM, sehingga tidak mampu pula membangun struktur organisasi yang diperlukan untuk pelaksanaan TQM dan tidak mampunya membentuk sistem hadiah (reward system) yang mendorong dilaksanakannya TQM.
2.    Salah memfokuskan perhatian
Salah memfokuskan pada salah satu butir-butir atau sistematika TQM saja, sehingga mengabaikan butir-butir yang lain. Seharusnya semua langkah-langkah dalam TQM dilakukan secara urut dan lengkap. Karena semua bagaikan sistem yang saling mempengaruhi.
3.    Tidak tersedianya karyawan yang memadai dan mendukung
Keberhasilan TQM didasari oleh karyawan yang siap dan mempunyai komitmen akan tanggung jawab menjalani tugasnya pada manajemen mutu terpadu. Komitmen tidak timbul hanya melalui maklumat atau pengumuman resmi, tetapi memerlukan informasi kepada karyawan tentang tujuan TQM dan pentingnya TQM bagi perusahaan mereka.
4.    Hanya mengandalkan pelatihan semata-mata
Setelah latihan dilaksanakan, selanjutnya adalah bagaimana hasil pelatihan itu dilaksanakan (by action). Berarti ini memerlukan hal-hal lain, seperti perbaikan mutu, menciptakan operasi yang lebih baik, jelas dan mengerti para karyawan.
5.    Harapan memperoleh sesaat, bukan hasil jangka panjang
Pelaksanaan TQM memerlukan perubahan organisasi secara menyeluruh dan budaya kerja. Perubahan tidak dapat segera terjadi dalam waktu singkat dan cepat, bahkan hasilnya mungkin baru dapat dirasakan satu sampai dengan dua tahun. Ketekukan dan kesabaran tim TQM di sini sangat diperlukan.
6.    Memaksa mengadopsi suatu metode padahal tidak cocok
Tidak semua teknik dalam TQM cocok di berbagai lembaga. Hal ini perlu penyesuaian, bila tidak, hanyalah kegagalan yang diperoleh. Pimpinan sekolah perlu secara luwes dalam menerapkan sistem TQM, lalu mereka mempunyai kemauan untuk menelusuri kembali berbagai kekurangan secara tepat. Sehingga, dapat  menentukan apakah sesuatu yang telah diadopsi itu cocok atau perlu penyesuaian dengan kondisi serta situasi sekolah atau perusahaan mereka.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Total Quality Management (TQM) ini sangat perlu diadopsi, diterapkan dan dikembangkan di dunia pendidikan, lembaga pendidikan, khususnya lagi sekolah. Hal itu adalah sebuah keniscayaan, karena seiring kemajuan IPTEK dan Sumber Daya Manusia (SDM), maka karyawan akan semakin siap untuk diterapkannya konsep manajemen ini. Akan tetapi, TQM ini bisa maksimal pada sekolah-sekolah yang memang sudah besar, dengan fasilitas yang lengkap dan memadai. TQM bisa dilakukan juga di sekolah yang masih berkembang di daerah-daerah pedesaan, dengan catatan perlu adanya usaha ekstra keras dari kepala sekolah yang bersangkutan untuk menyatukan visi, mengadakan pemahaman tantang konsep mutu dan memaksimalkan pendanaan untuk menggaji para karyawannya dengan cukup. Karena di daerah-daerah pedesaan, orientasi masyarakatnya kebanyakan adalah memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing. Jika ini terkendala, maka proses TQM akan terkendala.
2.    Konsep TQM ini tidak akan mencapai tujuannya apabila prinsip-prinsip dalam TQM sendiri tidak dipegang dengan teguh. Karena TQM ini sangat berhubungan dengan integritas dan loyalitas karyawan, maka dalam jiwa pemimpinnya sampai karyawan tingkat paling bawah, haruslah tertanam akan pentingnya “mutu” dalam kualitas tugas mereka masing-masing. Jika ini sampai melenceng atau goyah, maka proses TQM akan berjalan terseok dan tujuan TQM tidak akan pernah tercapai.
3.    Pilar-pilar TQM yang antara lain adanya produk yang dihasilkan, proses yang dilakukan dalam menghasilkan produk dan organisasi yang digerakkan oleh seorang pemimpin, serta adanya komitmen di antara para pemimpin di dalam suatu organisasi. Semua komponen ini membentuk satu sistem TQM yang saling mempengaruhi dan digerakkan oleh salah satu pilarnya, yaitu pemimpin. Artinya, pemimpin disini harus benar-benar piawai memainkan peranannya dalam menjalankan sistem ini untuk mencapai tujuan program TQM yang telah dicanangkan.
4.    Implemantasi TQM pada dunia pendidikan dan dunia bisnis memiliki perbedaan yang esensial. Hal itu bisa dilihat dari produk dan tujuannya. Produk pada sekolah adalah lulusan yang siap dengan ilmu pengetahuan plus prakteknya dan adanya sikap atau attitude yang baik pada lulusannya. Indikator keberhasilannya adalah lulusan dapat diterima di perguruan tinggi yang berkualitas, dapat diterima di dunia kerja dan bisa menjalani segala peran hidupnya dengan sikap/karakter/akhlaq yang baik dimana pun dia berada. Sedangkan, jika perusahaan bisnis adalah ada pada produk barang atau jasa yang berkualitas dan indikatornya adalah adanya keuntungan yang sebesar-besarnya pada perusahaan. Akan tetapi, dalam langkah implementasinya, keduanya memilki tahapan yang sama, tentunya dengan analogi-analogi yang tepat.
5.    Kegagalan dalam implentasi TQM bisa disimpulkan secara menyeluruh adalah dikarenakan adanya inkonsistensi dari beberapa atau semua komponen mutu yang ada di sekolah. Oleh karena itu, tidak boleh ada satupun komponen mutu atau tim TQM yang asal kerja dan bahkan sembrono dalam melaksanakan tugasnya hingga melakukan kesalahan. Kalaupun itu terjadi, sang pemimpin di sekolah harus segera mengadakan perbaikan dengan secepatnya, agar proses mutu itu terus berlangsung dan berkembang sedikit demi sedikit tanpa terhenti dengan adanya inkonsistensi tersebut.
B.  Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, dalam segala rangkaian kata-kata dari awal hingga akhir tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu tidak ada usaha yang lebih berharga kecuali melakukan kritik konstruktif setiap elemen pembangun dalam makalah ini, demi perbaikan dan kebaikan semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada pembaca pada umumnya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.


DAFTAR PUSTAKA
E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. 9.
Edward Sallis, Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.
Fandy Tjiptono, Anastasia Diana, Total Quality Management, Yogyakarta: Andi Offset, 2003.
M.N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001.
Nana Saodih Sukmadinata, Ayi Novi Jami’at dan Ahman, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah; Konsep, Prinsip dan Instrumen, Bandung: Refika Aditama, 2006, Cet. 1.
Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Manajemen, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004.
Sri Minarti, Manajemen Sekolah; Mengelola Lembaga Pendidikan Secara Mandiri, Yogyakarta: Arruz Media, 2011.
Suyadi Prawirosentono, Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu Terpadu Abad 21, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Tim Gama Jakarta, Kamus Saku Ilmiah Populer, Jakarta: Gama Press, 2010, Cet.1.
Veithrizal Rivai, Education Management; Analisis Teori dan Praktik, Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2009.



[1] Tim Gama Jakarta, Kamus Saku Ilmiah Populer, Jakarta: Gama Press, 2010, Cet.1, hal. 278.
[2] Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Manajemen, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004, hal. 1.
[3] Veithrizal Rivai, Education Management; Analisis Teori dan Praktik, Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2009, hal. 479.
[4] E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Cet. 9, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, hal. 483-484.
[5] Nana Saodih Sukmadinata, Ayi Novi Jami’at dan Ahman, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah; Konsep, Prinsip dan Instrumen, Bandung: Refika Aditama, 2006, Cet. 1, hal. 12-13.
[6] M.N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001, hal. 150.
[7] Sri Minarti, Manajemen Sekolah; Mengelola Lembaga Pendidikan Secara Mandiri, Yogyakarta: Arruz Media, 2011, hal. 341.
[8] Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management, Yogyakarta: Andi Offset, 2003,  hlm. 343-346.
[9] Ibid, hlm. 347.
[10] Ibid, hlm. 348-349.
[11] Edward Sallis, Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012, Cet. 16, hal. 245-253.
[12] Suyadi Prawirosentono, Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu Terpadu Abad 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 96-97.