Selasa, 05 September 2017

TEORI DASAR PENDEKATAN STUDI ISLAM; CHARLES J. ADAMS



TEORI DASAR PENDEKATAN STUDI ISLAM
CHARLES J. ADAMS

Disusun Oleh:
ABDUL FATAH

A.  PENDAHULUAN
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Untuk menjadikan dimensi Islam yang lebih luas dan utuh inilah maka Charles J. Adams dalam bukunya The Study Of The Middle East menjelaskan tentang apa itu Islam dan agama agar dapat didefinisikan dengan tepat sesuai dengan konteksnya. Namun, terdapat kesulitan yang sangat esensial dalam melakukan kajian terhadap Islam menurut Charles J. Adams. Hal ini terkait adanya kesulitan untuk membuat batasan atas dua unsur, yaitu; Islam dan tradisi keagamaan. Problem terpenting adalah belum adanya definisi yang tepat dan universal terhadap kedua terminologi tersebut diatas.[1]
B.  PEMBAHASAN
1.    Biografi Charles J. Adams
Charles Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston, Texas. Pendidikan dasarnya diperoleh melalui sistem sekolah umum. Pada permulaan belajar di sekolah dasar ini Adams telah menunjukkan kegemaran menulis. Setelah lulus dari Sekolah Menangah Atas John H. Reagen pada tahun 1941, dia meneruskan di Baylor University di Waco, Texas. Adams juga pernah bergabung dengan Angkatan Udara Amerika Serikat dari tahun 1942 sampai dengan 1945 sebagai operator radio dan mekanis. Setelah perang, tahun 1947 Adams memperoleh gelar Sarjana dan pada tahun yang sama memasuki Graduate School di Universitas Chicago bersama dengan Joachim Wach. Karir akademisi Adams adalah profesor dalam bidang Islamic Studies dan pada tahun 1963 diangkat menjadi director Institute of Islamic Studies McGill University selama 20 tahun. Adams menerima Ph. D dalam History of Religion dari University of Chicago pada tahun 1955 dengan disertasi berjudul “Nathan Soderblom as an Historian of Religions”.
Adams telah menulis banyak tentang Islam, salah satu karya terbesarnya yang dijadikan teks penting bagi dosen dan mahasiswa agama adalah A Reader’s Guide to the Great Religions (1977). Adams juga menjadi konstributor artikel untuk The Encyclopedia Britannica, dan the World Book Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana. Beberapa karya lainnya adalah The Encyclopedia of Religion (1987), “The Authority of the Prophetic Hadith in the Eye of Some Modern Muslims, in Essays on Islamic civilization presented to Niyazi Berkes (1976), the Ideology of Maulana Maududi, in South Asian Politics and Religion, Ed. Donald E. Smith (1966), dan Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder, The Study of the Middle East, Ed. (1976).
2.  Definisi Islam dan Agama menurut Carles J. Adams
Sebelum menjelaskan pada pendekatan dalam kajian Islam, Adams membahas terlebih dahulu tentang Islam dan agama sebagai awal pembahasan. Menurut C. J Adams sangat sulit untuk membuat batasan pemisah antara wilayah kajian Islam dan bukan. Hal ini dikarenakan, kajian keislaman (kajian tentang agama) tidak memiliki batasan yang jelas.[2] Jika dicermati, pada masa sekarang ini kajian keislaman sudah sedemikian luas sehingga menjadi sangat sulit untuk mengidentifikasi mana saja yang dimiliki oleh kajian ini. Apalagi dengan berkembangnya berbagai macam tawaran metodologis di dunia modern yang melihat agama dari sudut
pandang yang berbeda, menjadikan wilayah kajian keislaman semakin luas dan cenderung lalu lalang seperti arus lalu lintas.
Menurut Charles J. Adams ada beberepa definisi tentang Islam. Pertama, adalah bahwa Islam merupakan “ peradaban dan arahan hidup” acilivisation and orientation to the word).[3] Definisi ini menyangkut pengertian yang universal dan mewakili berbagai aspek yang ada dalam agama Islam termasuk aspek teologis, sosial, politik, budaya dan ekonomi. Menurut kaca mata orang muslim aturan dan arahan itu disebut dengan
syari’at yang bersumber dari pesan tuhan melalui utusannya.
Dari definisi pertama tersebut dapat diambil pengertian bahwa Islam merupakan komitmen keagamaan. Dalam konteks ini Islam dipahami sebagai aturan yang berasal dari Tuhan (nash) yang dijalankan oleh manusia. Komitmen keagamaan ini bersifat praktis. Seseorang yang berkomitmen terhadap agamanya tidak terlalu risau dengan pengertian  agama. Ia akan menjalankan perintah agama yang diatur dalam nash (untuk
agama Islam) yanpa harus dipusingkan dengan makna dari perintah yang ia laksanakan. Oleh karena itulah sangat sulit untuk memberi identifikasi mana yang bersifat religious dan mana yang bukan. Hal ini dikarenakan pengalaman religius seseorang adalah berbeda. Menurut Adams, konsep Islam meliputi dua aspek yaitu pengalaman dalam dan prilaku luar manusia.[4]
Dalam Islam pengalaman spiritual seseorang ini dapat mempengaruhi terhadap cara pandang terhadap Islam itu sendiri. Sorang sufi, misalnya akan memberikan pengertian Islam berdasarkan subyektifitasnya, yakni berdasarkan pengalaman spiritual mereka. Karena pengalaman spritual yang
berbeda inilah pandangan terhadap Islam secara otomatis juga berbeda. Dengan demikian Islam akan menjadi warna-warni dan tidak memiliki batasan yang permanen.
Secara logis, Islam itu harus berwarna-warni agar aktualitas Islam itu sendiri tetap terjaga. Tapi, meminjam istilah Adonis seorang sejawan, Islam harus tetap memiliki aspek yang yang permanen (tetap) dan juga aspek yang berubah-ubah (dinamis).[5] Menurut Syaukani Islam memiliki dua fungsi :
pertama, sebagai kontrol sosial (social control); dan kedua, sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial (social change). Jika yang pertama Islam ditempatkan sebadai blue print atau cetak biru Tuhan selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, Islam lebih merupakan
produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks kinian, Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.[6]
Sejalan yang dipaparkan syaukani, Menurut Charles J. Adams, dan ini merupakan definisi kedua tentang Islam, bahwa  Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon secara mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Dengan demikian Islam bukanlah sesuatu yang satu. Islam tidak hanya sebagai sistem kepercayaan dan ibadah, tetapi multi sistem dalam historitas yang selalu berubah dan berkembang.[7]
Dari definisi yang kedua ini Adams mengakhiri pembahasan tentang Islam, bahwa Islam merupakan kelanjutan dalam hal pengalaman (experience) dan ekspresinya yang berkembang terus berdasarkan pesan (wahyu) yang disampaikan oleh utusan ( nabi).
Dalam memberikan pemahaman tentang agama, Adams berangkat dari kerangka teoritisnya Wilfred Cantwell Smith, yang mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan dalam memahami agama sebagai tradisi (tradition) dan agama sebagai kepercyaan (faith). Agama apapun, termasuk Islam memiliki aspek tradisi yaitu aspek eksternal keagamaan yang dipengaruhi oleh aspek sosial, historis yang fenomenanya dapat diobservasi dalam masyarakat. Selain itu agama, juga memiliki aspek internal yaitu faith (kepercayaan) yang tidak bisa didefinisikan (tak terkatakan) dan yang memiliki trandensen (hubungan dengan Tuhan) serta dimensi pribadi kehidupan beragama.[8]
Untuk menemukan sebuah definisi yang universal tentang Islam dan juga agama sangat sulit ditemukan. Menurut Amin Abdullah, agama digambarkan sebagai sesuatu yang memiliki banyak wajah (multi faces) bukan single face, sebab agama tidak lagi dipahami seperti orang-orang terdahulu memahaminya, yakni semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, dan ultimate concern. Selain ciri dan sifat konvensional yang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama  ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis-kultural yang merupakan keniscayaan manusiawi belaka.[9] Menurut Mukti Ali bahwa ada
tiga faktor yng menyebabkan sulitnya pendefinisian agama yaitu: pertama, pengalaman agama adalah persoalan internal, subyektif dan individualis; kedua, pembahasan agama selalu melibatkan emosi pelaku; ketiga, konsepsi agama sangat tergantung dari tujuan dan motif orang yang mendefinisikannya.[10]
3.    Pendekatan Dalam Studi Islam Charles J. Adams
a.    Normatif atau Keagamaan
Pendekatan teologis normatif berupaya memahami agama secara literer dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari sutu keagamaan dianggap paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.[11] Pendekatan ini mempunyai ciri loyalitas terhadap kelompoknya sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif. Menurut Charles J. Adams, pendekatan ini dibagi menjadi tiga macam:
1)   Pendekatan Misionaris Tradisional (Traditional Missionary Approacch)
Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 pada saat semaraknya aktivitas misionaris di kalangan gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon perkembangan pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika.[12] Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk mempermudah mengkristenkan orang beragama lain (proselytizing). Metode yang digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang senantiasa merugikan Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris adalah sebagai konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks itu, karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.[13]
2)   Pendekatan Apologetik (Apologetic Approach)
Ciri dan karakter pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik. Pendekatan apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Di hadapkan pada situasi modern, Islam ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan modernitas, agama peradaban seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik merupakan salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap dunia modern dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam abad baru yang cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para penulis buku dari kalangan Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C. Smith, Modern Islam in India (1946), dan Islam in Modern History (1957).[14]
Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual, kultural, dan agama Islam sendiri.
Seperti halnya misionaris yang tertarik mengkaji Islam, gerakan apologetik ini memiliki beberapa karakteristik. Oleh karena apologetik lebih konsen pada bagaimana menampilkan Islam dalam performance yang baik, maka mereka sering terjebak dalam kesalahan yang tidak mengindahkan nilai keilmuan. Pendekatan apologetik sering menghasilkan literatur yang mengandung kesalahan dalam bentuk distorsi, selektivitas dan pernyataan yang berlebihan dalam menggunakan bukti, sering menampilkan sisi romantisme sejarah dan keberhasilan ummat Islam, dan kesalahan dalam melakukan analisis perbandingan, serta disemangati oleh sifat atau karakter tendensius. Kegagalan para apologis Muslim modern adalah melakukan kajian Islam dengan motif dan tujuan untuk mempertahankan diri dan bukan untuk tujuan ilmiah.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi
3)   Pendekatan Irenik (Irenic Approach)
Sejak Perang Dunia II,  gerakan yang berakar dari lingkungan keagamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.[15]
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi.[16] Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religous exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama,  pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.
b.   Pendekatan Deskriptif
Dalam pendekatan yang bersifat deskriptif ini Adams membagi menjadi tiga macam yaitu:
1)   Pendekatan Filologi dan Sejarah (Philological and Historical Approach)
Sebagaimana dalam kamus ilmiah, filologi adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastra atau sumber-sumber tertulis miliknya.[17] Jadi dalam konteks ini pendekatan filologi ialah sebuah pendekatan studi agama (Islam) yang memfokuskan kajiannya pada naskah-naskah atau sumber-sumber keagamaan guna mengetahui budaya dan kerohanian keagamaan tersebut. Menurut keyakinan filolog, aspek kehidupan dan kesalehan suatu agama hampir seluruhnya bisa diketahui melalui kesan-kesan dalam naskah atau literatur.[18]
Kemudian pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana dipahami pada saat pengarang menulisnya. Selain itu, pendekatan historis juga menelusuri hubungan karya satu dengan karya-karya lainnya, sehingga kualitas unsur-unsur kesejarahannya dapat diketahui.
Pendekatan filologi dan sejarah dianggap sangat produktif dalam studi Islam. Lebih dari 100 tahun sarjana membekali diri dengan prinsip-prinsip bahasa orang Islam dan memperoleh pendidikan dalam bidang metode filologi untuk memahami bahan-bahan tekstual yang menjadi bagian dari keberagamaan Islam. Karya di bidang filologi sebenarnya merupakan kesinambungan dari pendekatan serupa dalam kajian perbandingan bahasa atau studi Bibel. Hal ini disebabkan karena status Bahasa Arab merupakan perkembangan lebih jauh dari rumpun bahasa Semit.
Pendekatan filologi dapat digunakan hampir dalam semua aspek kehidupan umat Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang Barat tetapi juga memainkan peran penting dalam dunia orang Islam sendiri yang berbentuk penelitian filologi dan sejarah yang banyak dilakukan oleh pembarahu, intelektual, politisi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan filologi dan sejarah, sarjana telah menemukan kembali masa kejayaan budaya Islam yang terlupakan di kalangan Muslim padahal ia menjadi salah satu faktor pada masa sekarang ini untuk melakukan revitalisasi Islam.
Menurut Adams, filologi memiliki peran vital dan harus tetap dipertahankan dalam studi Islam. Argumentasi Adams adalah karena Islam memiliki banyak bahan berupa dokumen-dokumen masa lampau dalam bidang sejarah, teologi, hukum, tasawuf dan lain sebagainya. Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital dalam hal ini.
2)   Pendekatan Ilmu Sosial (Social Scientific Approach)
Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas pendekatan para ahli bahasa, Filologi. Menurut Founding Fathers pendekatan ilmu sosial, para filolog mempunyai anggapan yang salah dalam mengkaji masyarakat, yakni melalui literatur. Menurut mereka dalam mengakaji masyarakat seharusnya menggunakan metode sains sebagaimana yang digunakan pada ilmu sosial. Selain itu, para filolog hanya mengkaji kata dan makna yang tertulis dalam teks klasik dari pada masyarakatnya, meski filolog membayangkan dapat melihat masyarakat dalam teks.[19]
Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
3)   Pendekatan Fenomenologi ( phenomenological Approach)
Menurut Adams, terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi dalam kajian agama (Islam). Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama seseorang yang termasuk di dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara ‘netral’ sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasikan fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara sama tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu  dan perbedaan budaya masyarakat.[20]
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan. Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.[21]
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya.
4.    Ruang Lingkup dan Bidang Kajian Studi Islam
Ruang lingkup penelitian yang dilakukan Charles J. Adams adalah Islam dan agama. Dengan membahas Islam dan agama Adams menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif, yang masing-masing pendekatan mempunyai klasifikasi tertentu.
Disamping membahas pendekatan-pendekatan dalam kajian keislaman, C. Adams juga membahas wilayah kajian Islam yang terdiri dari 11 tema pokok (bahkan bisa disebut bidang ilmu). Tema yang dapat dijadikan obyek kajian keislaman yaitu:
1)        Sejarah Arabia pra Islam (pre-Islamic Arabia)
2)        Kajian tentang Nabi (Studies of The Prophet)
3)        Kajian tentang al Quran
4)        Kajian tentang hadits
5)       Kalam
6)       Hukum Islam
7)       Tasawuf (sufism)
8)       Filsafat
9)       Sekte-sekte Islam
10)  Kajian tentang Ibadah
11)    Kajian agama popular (Agama rakyat)

C.  KESIMPULAN
Menurut Charles J. Adams ada beberepa definisi tentang Islam. Pertama, adalah bahwa Islam merupakan peradaban dan arahan hidup. Kedua, Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon secara mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Dalam memberikan pemahaman tentang agama, Adams berangkat dari kerangka teoritisnya Wilfred Cantwell Smith, yang mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan dalam memahami agama sebagai tradisi (tradition) dan agama sebagai kepercyaan (faith).
Menurut Adams, pengkaji Islam dalam melakukan studinya bisa menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif meliputi tiga pendekatan, yaitu pendekatan misionaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan simpatik (irenic). Sedangkan pendekatam deskriptif meliputi pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan sosial dan pendekatan fenomenologis.
Dalam mengkaji Islam, ada beberapa bidang kajian yang ditawarkan Adams, yaitu, Arab pra-Islam, studi tentang Nabi Muhammad, al-Qur’an, hadis, kalam, hukum Islam, filsafat, tasawuf, aliran Islam khususnya Syi’ah, ibadah, dan populer religion.


DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, 2003, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Adonis, 2007, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, terj Khoiron Nahdhiyyin, Yogyakarta, Lkis.
Aholib Watloly, 2001, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat.
Amin Abdullah, 2000, Mencari Islam : Studi berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Charles J. Adam, Islamic Religiuos Tradition, dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, New York, Wiely & Sons, tt.
Imam Syaukani, 2006, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mukti Ali, 1971, Universalitas dan Pembangunan, Bandung: IKIP Bandung.
Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola.
Zakiyuddin Baidhawy, 2001, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press.


[1] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.), hlm. 29
[2] Ibid, hlm. 29.
[3] Ibid, hlm. 29
[4] Ibid, hlm. 33
[5] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, terj Khoiron Nahdhiyyin (Yogyakarta, Lkis, 2007 ), hlm. xxvii
[6] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 22
[7] Chaerles J. Adams , Islam Religious Tradition, hlm. 31
[8] Ibid, hlm. 33
[9] Amin Abdullah, Mencari Islam : Studi berbagai Pendekatan ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 2
[10] Mukti Ali,Universalitas dan Pembanguunan ( Bandung: IKIP Bandung, 1971), hlm. 4
[11] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 28
[12] Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, hlm. 35
[13] Ibid, hlm. 35
[14] Ibid, hlm. 37
[15] Ibid, hlm. 38
[16] Ibid, hlm. 38
[17] Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994), hlm. 178.
[18] Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, hlm. 41.
[19] Zakiyuddin Baidhawy, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, dalam Richard C. Martin,(ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, terj. Zakiyuddin, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press, 2001), xiii-ix.
[20] Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, hlm. 49-50
[21] Aholib Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, (Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat, 2001), hlm. 95