TEORI DASAR PENDEKATAN STUDI ISLAM
CHARLES J.
ADAMS
Disusun Oleh:
ABDUL FATAH
A.
PENDAHULUAN
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat
banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi
dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi
fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk
formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam
telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan
bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi
mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan
interdisipliner.
Untuk menjadikan dimensi Islam yang lebih luas
dan utuh inilah maka Charles J. Adams dalam bukunya The Study Of The Middle
East menjelaskan tentang apa itu Islam dan agama agar dapat didefinisikan
dengan tepat sesuai dengan konteksnya. Namun, terdapat kesulitan yang sangat
esensial dalam melakukan kajian terhadap Islam menurut Charles J. Adams. Hal
ini terkait adanya kesulitan untuk membuat batasan atas dua unsur, yaitu; Islam
dan tradisi keagamaan. Problem terpenting adalah belum adanya definisi yang
tepat dan universal terhadap kedua terminologi tersebut diatas.[1]
B.
PEMBAHASAN
1.
Biografi Charles J. Adams
Charles
Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston, Texas. Pendidikan
dasarnya diperoleh melalui sistem sekolah umum. Pada permulaan belajar di
sekolah dasar ini Adams telah menunjukkan kegemaran menulis. Setelah lulus dari
Sekolah Menangah Atas John H. Reagen pada tahun 1941, dia meneruskan di Baylor
University di Waco, Texas. Adams juga pernah bergabung dengan Angkatan Udara
Amerika Serikat dari tahun 1942 sampai dengan 1945 sebagai operator radio dan
mekanis. Setelah perang, tahun 1947 Adams memperoleh gelar Sarjana dan pada
tahun yang sama memasuki Graduate School di Universitas Chicago bersama dengan
Joachim Wach. Karir akademisi Adams adalah profesor dalam bidang Islamic
Studies dan pada tahun 1963 diangkat menjadi director Institute of Islamic
Studies McGill University selama 20 tahun. Adams menerima Ph. D dalam History
of Religion dari University of Chicago pada tahun 1955 dengan disertasi
berjudul “Nathan Soderblom as an
Historian of Religions”.
Adams telah
menulis banyak tentang Islam, salah satu karya terbesarnya yang dijadikan teks
penting bagi dosen dan mahasiswa agama adalah A Reader’s Guide to the Great
Religions (1977). Adams juga menjadi konstributor artikel untuk The
Encyclopedia Britannica, dan the World Book Encyclopedia, dan Encyclopedia
Americana. Beberapa karya lainnya adalah The Encyclopedia of Religion (1987), “The Authority of the Prophetic Hadith in
the Eye of Some Modern Muslims, in Essays on Islamic civilization presented to
Niyazi Berkes (1976), the Ideology of Maulana Maududi, in South Asian Politics
and Religion, Ed. Donald E. Smith (1966), dan Islamic Religious Tradition,
dalam Leonard Binder, The Study of the Middle East, Ed. (1976).
2. Definisi Islam dan Agama menurut Carles J. Adams
Sebelum
menjelaskan pada pendekatan dalam kajian Islam, Adams membahas terlebih dahulu
tentang Islam dan agama sebagai awal pembahasan. Menurut C. J Adams sangat sulit
untuk membuat batasan pemisah antara wilayah kajian Islam dan bukan. Hal ini
dikarenakan, kajian keislaman (kajian tentang agama) tidak memiliki batasan
yang jelas.[2]
Jika dicermati, pada masa sekarang ini kajian keislaman sudah sedemikian luas
sehingga menjadi sangat sulit untuk mengidentifikasi mana saja yang dimiliki
oleh kajian ini. Apalagi dengan berkembangnya berbagai macam tawaran metodologis
di dunia modern yang melihat agama dari sudut
pandang yang berbeda, menjadikan wilayah kajian keislaman semakin luas dan cenderung lalu lalang seperti arus lalu lintas.
pandang yang berbeda, menjadikan wilayah kajian keislaman semakin luas dan cenderung lalu lalang seperti arus lalu lintas.
Menurut
Charles J. Adams ada beberepa definisi tentang Islam. Pertama, adalah
bahwa Islam merupakan “ peradaban dan arahan hidup” acilivisation and
orientation to the word).[3]
Definisi ini menyangkut pengertian yang universal dan mewakili berbagai aspek
yang ada dalam agama Islam termasuk aspek teologis, sosial, politik, budaya dan
ekonomi. Menurut kaca mata orang muslim aturan dan arahan itu disebut dengan
syari’at yang bersumber dari pesan tuhan melalui utusannya.
syari’at yang bersumber dari pesan tuhan melalui utusannya.
Dari definisi pertama tersebut dapat diambil pengertian bahwa
Islam merupakan komitmen keagamaan. Dalam konteks ini Islam dipahami sebagai
aturan yang berasal dari Tuhan (nash) yang dijalankan oleh manusia.
Komitmen keagamaan ini bersifat praktis. Seseorang yang berkomitmen terhadap
agamanya tidak terlalu risau dengan pengertian agama. Ia akan menjalankan perintah agama yang
diatur dalam nash (untuk
agama Islam) yanpa harus dipusingkan dengan makna dari perintah yang ia laksanakan. Oleh karena itulah sangat sulit untuk memberi identifikasi mana yang bersifat religious dan mana yang bukan. Hal ini dikarenakan pengalaman religius seseorang adalah berbeda. Menurut Adams, konsep Islam meliputi dua aspek yaitu pengalaman dalam dan prilaku luar manusia.[4]
agama Islam) yanpa harus dipusingkan dengan makna dari perintah yang ia laksanakan. Oleh karena itulah sangat sulit untuk memberi identifikasi mana yang bersifat religious dan mana yang bukan. Hal ini dikarenakan pengalaman religius seseorang adalah berbeda. Menurut Adams, konsep Islam meliputi dua aspek yaitu pengalaman dalam dan prilaku luar manusia.[4]
Dalam Islam pengalaman spiritual seseorang ini dapat mempengaruhi
terhadap cara pandang terhadap Islam itu sendiri. Sorang sufi, misalnya akan
memberikan pengertian Islam berdasarkan subyektifitasnya, yakni berdasarkan pengalaman
spiritual mereka. Karena pengalaman spritual yang
berbeda inilah pandangan terhadap Islam secara otomatis juga berbeda. Dengan demikian Islam akan menjadi warna-warni dan tidak memiliki batasan yang permanen.
berbeda inilah pandangan terhadap Islam secara otomatis juga berbeda. Dengan demikian Islam akan menjadi warna-warni dan tidak memiliki batasan yang permanen.
Secara logis, Islam itu harus berwarna-warni agar aktualitas
Islam itu sendiri tetap terjaga. Tapi, meminjam istilah Adonis seorang sejawan,
Islam harus tetap memiliki aspek yang yang permanen (tetap) dan juga aspek yang
berubah-ubah (dinamis).[5]
Menurut Syaukani Islam memiliki dua fungsi :
pertama, sebagai kontrol sosial (social control); dan kedua, sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial (social change). Jika yang pertama Islam ditempatkan sebadai blue print atau cetak biru Tuhan selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, Islam lebih merupakan
produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks kinian, Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.[6]
pertama, sebagai kontrol sosial (social control); dan kedua, sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial (social change). Jika yang pertama Islam ditempatkan sebadai blue print atau cetak biru Tuhan selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, Islam lebih merupakan
produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks kinian, Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.[6]
Sejalan yang
dipaparkan syaukani, Menurut Charles J. Adams, dan ini merupakan definisi
kedua tentang Islam, bahwa Islam
harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah,
berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon secara
mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Dengan demikian Islam bukanlah sesuatu
yang satu. Islam tidak hanya sebagai sistem kepercayaan dan ibadah, tetapi
multi sistem dalam historitas yang selalu berubah dan berkembang.[7]
Dari definisi
yang kedua ini Adams mengakhiri pembahasan tentang Islam, bahwa Islam merupakan
kelanjutan dalam hal pengalaman (experience) dan ekspresinya yang berkembang
terus berdasarkan pesan (wahyu) yang disampaikan oleh utusan ( nabi).
Dalam memberikan
pemahaman tentang agama, Adams berangkat dari kerangka teoritisnya Wilfred
Cantwell Smith, yang mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan dalam memahami
agama sebagai tradisi (tradition) dan agama sebagai kepercyaan (faith).
Agama apapun, termasuk Islam memiliki aspek tradisi yaitu aspek eksternal
keagamaan yang dipengaruhi oleh aspek sosial, historis yang fenomenanya dapat diobservasi
dalam masyarakat. Selain itu agama, juga memiliki aspek internal yaitu faith
(kepercayaan) yang tidak bisa didefinisikan (tak terkatakan) dan yang
memiliki trandensen (hubungan dengan Tuhan) serta dimensi pribadi
kehidupan beragama.[8]
Untuk menemukan
sebuah definisi yang universal tentang Islam dan juga agama sangat sulit
ditemukan. Menurut Amin Abdullah, agama digambarkan sebagai sesuatu yang memiliki
banyak wajah (multi faces) bukan single face, sebab agama tidak
lagi dipahami seperti orang-orang terdahulu memahaminya, yakni semata-mata
terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman
hidup, dan ultimate concern. Selain ciri dan sifat konvensional yang mengasumsikan
bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan
persoalan-persoalan historis-kultural yang merupakan keniscayaan manusiawi
belaka.[9] Menurut Mukti Ali bahwa ada
tiga faktor yng menyebabkan sulitnya pendefinisian agama yaitu: pertama, pengalaman agama adalah persoalan internal, subyektif dan individualis; kedua, pembahasan agama selalu melibatkan emosi pelaku; ketiga, konsepsi agama sangat tergantung dari tujuan dan motif orang yang mendefinisikannya.[10]
tiga faktor yng menyebabkan sulitnya pendefinisian agama yaitu: pertama, pengalaman agama adalah persoalan internal, subyektif dan individualis; kedua, pembahasan agama selalu melibatkan emosi pelaku; ketiga, konsepsi agama sangat tergantung dari tujuan dan motif orang yang mendefinisikannya.[10]
3.
Pendekatan Dalam Studi Islam Charles J. Adams
a. Normatif atau Keagamaan
Pendekatan teologis normatif berupaya memahami agama secara
literer dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari sutu keagamaan dianggap paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya.[11]
Pendekatan ini mempunyai ciri loyalitas terhadap kelompoknya sendiri, komitmen
dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif.
Menurut Charles J. Adams, pendekatan ini dibagi menjadi tiga macam:
1)
Pendekatan Misionaris Tradisional (Traditional
Missionary Approacch)
Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad
ke-19 pada saat semaraknya aktivitas misionaris di kalangan gereja dan sekte
Kristen dalam rangka merespon perkembangan pengaruh politik, ekonomi dan
militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika.[12]
Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk
mempermudah mengkristenkan orang beragama lain (proselytizing). Metode yang
digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen
yang senantiasa merugikan Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris
adalah sebagai konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para
missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola
hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan
penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak
jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat
kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional
dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks itu, karena adanya relasi yang
kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat
bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris
tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian
disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris
approach) dalam studi Islam.[13]
2)
Pendekatan Apologetik (Apologetic Approach)
Ciri dan karakter pemikiran Muslim pada abad
ke-20 adalah pendekatan apologetik. Pendekatan apologetik muncul sebagai respon
umat Islam terhadap situasi modern. Di hadapkan pada situasi modern, Islam
ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan modernitas, agama peradaban
seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik merupakan salah satu cara untuk
mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap dunia modern dengan menyatakan
bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam abad baru yang cerah dan modern.
Tema seperti ini menjadi fokus kajian para penulis buku dari kalangan Islam
atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan bukunya The Spirit of Islam (1922),
W.C. Smith, Modern Islam in India (1946), dan Islam in Modern History (1957).[14]
Konstribusi para pengkaji Islam dengan
pendekatan apologetik tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas
baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat
bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek
sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya
dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan karya tulis yang menekankan
pada warisan intelektual, kultural, dan agama Islam sendiri.
Seperti halnya misionaris yang tertarik
mengkaji Islam, gerakan apologetik ini memiliki beberapa karakteristik. Oleh
karena apologetik lebih konsen pada bagaimana menampilkan Islam dalam
performance yang baik, maka mereka sering terjebak dalam kesalahan yang tidak
mengindahkan nilai keilmuan. Pendekatan apologetik sering menghasilkan
literatur yang mengandung kesalahan dalam bentuk distorsi, selektivitas dan
pernyataan yang berlebihan dalam menggunakan bukti, sering menampilkan sisi
romantisme sejarah dan keberhasilan ummat Islam, dan kesalahan dalam melakukan
analisis perbandingan, serta disemangati oleh sifat atau karakter tendensius.
Kegagalan para apologis Muslim modern adalah melakukan kajian Islam dengan
motif dan tujuan untuk mempertahankan diri dan bukan untuk tujuan ilmiah.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan
kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak
hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali
percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik.
Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba
menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang
jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat
dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan
dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua,
dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga,
apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan
dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa
apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik
menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang
pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik,
rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi
3)
Pendekatan Irenik (Irenic Approach)
Sejak Perang Dunia II, gerakan yang
berakar dari lingkungan keagamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu
bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan
membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk
menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat,
khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang
dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk
membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan
dan bangsa.[15]
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi
itu adalah melalui pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup
Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi.[16] Melalui
beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis,
ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen
secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi
Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka
terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan
ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan
tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas
(perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan
karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religous
exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama,
Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama, pertanyaan ilmiah (scientific
question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana
perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological
question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas
agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui
sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.
b. Pendekatan Deskriptif
Dalam pendekatan yang bersifat deskriptif ini
Adams membagi menjadi tiga macam yaitu:
1)
Pendekatan Filologi dan Sejarah (Philological
and Historical Approach)
Sebagaimana dalam kamus ilmiah, filologi adalah
studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya
sastra atau sumber-sumber tertulis miliknya.[17]
Jadi dalam konteks ini pendekatan filologi ialah sebuah pendekatan studi agama
(Islam) yang memfokuskan kajiannya pada naskah-naskah atau sumber-sumber
keagamaan guna mengetahui budaya dan kerohanian keagamaan tersebut. Menurut
keyakinan filolog, aspek kehidupan dan kesalehan suatu agama hampir seluruhnya
bisa diketahui melalui kesan-kesan dalam naskah atau literatur.[18]
Kemudian pendekatan historis ialah pendekatan
yang menelusuri arti dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana dipahami
pada saat pengarang menulisnya. Selain itu, pendekatan historis juga menelusuri
hubungan karya satu dengan karya-karya lainnya, sehingga kualitas unsur-unsur kesejarahannya
dapat diketahui.
Pendekatan filologi dan sejarah dianggap sangat
produktif dalam studi Islam. Lebih dari 100 tahun sarjana membekali diri dengan
prinsip-prinsip bahasa orang Islam dan memperoleh pendidikan dalam bidang
metode filologi untuk memahami bahan-bahan tekstual yang menjadi bagian dari
keberagamaan Islam. Karya di bidang filologi sebenarnya merupakan kesinambungan
dari pendekatan serupa dalam kajian perbandingan bahasa atau studi Bibel. Hal
ini disebabkan karena status Bahasa Arab merupakan perkembangan lebih jauh dari
rumpun bahasa Semit.
Pendekatan filologi dapat digunakan hampir
dalam semua aspek kehidupan umat Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang
Barat tetapi juga memainkan peran penting dalam dunia orang Islam sendiri yang
berbentuk penelitian filologi dan sejarah yang banyak dilakukan oleh pembarahu,
intelektual, politisi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan filologi dan
sejarah, sarjana telah menemukan kembali masa kejayaan budaya Islam yang
terlupakan di kalangan Muslim padahal ia menjadi salah satu faktor pada masa
sekarang ini untuk melakukan revitalisasi Islam.
Menurut Adams, filologi memiliki peran vital
dan harus tetap dipertahankan dalam studi Islam. Argumentasi Adams adalah
karena Islam memiliki banyak bahan berupa dokumen-dokumen masa lampau dalam
bidang sejarah, teologi, hukum, tasawuf dan lain sebagainya. Literatur tersebut
belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, sehingga pendekatan filologi
sekali lagi memainkan peran vital dalam hal ini.
2)
Pendekatan Ilmu Sosial (Social Scientific
Approach)
Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas
pendekatan para ahli bahasa, Filologi. Menurut Founding Fathers pendekatan
ilmu sosial, para filolog mempunyai anggapan yang salah dalam mengkaji
masyarakat, yakni melalui literatur. Menurut mereka dalam mengakaji masyarakat
seharusnya menggunakan metode sains sebagaimana yang digunakan pada ilmu
sosial. Selain itu, para filolog hanya mengkaji kata dan makna yang tertulis
dalam teks klasik dari pada masyarakatnya, meski filolog membayangkan dapat
melihat masyarakat dalam teks.[19]
Salah satu ciri utama pendekatan
ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah
mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana
sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti
bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari
metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki
tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial,
maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan
perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial,
agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol,
dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial
menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial,
dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak
berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan
ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka
seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
3) Pendekatan Fenomenologi
( phenomenological Approach)
Menurut Adams, terdapat dua hal penting yang
mencirikan pendekatan fenomenologi dalam kajian agama (Islam). Pertama,
fenomenologi adalah metode untuk memahami agama seseorang yang termasuk di
dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka
secara ‘netral’ sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang
lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasikan
fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara
umum pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan
reaksi keberagamaan semua manusia secara sama tanpa memperhatikan dimensi ruang
dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.[20]
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan
penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin,
dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan. Singkatnya, pendekatan fenomenologi
ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan
pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.[21]
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk
memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang
fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah
balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke
pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya.
4.
Ruang Lingkup dan Bidang Kajian Studi Islam
Ruang lingkup penelitian yang dilakukan Charles J. Adams
adalah Islam dan agama. Dengan membahas Islam dan agama Adams menggunakan
pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif, yang masing-masing pendekatan mempunyai
klasifikasi tertentu.
Disamping membahas pendekatan-pendekatan dalam kajian keislaman,
C. Adams juga membahas wilayah kajian Islam yang terdiri dari 11 tema pokok
(bahkan bisa disebut bidang ilmu). Tema yang dapat dijadikan obyek kajian keislaman
yaitu:
1)
Sejarah Arabia pra Islam (pre-Islamic Arabia)
2)
Kajian tentang Nabi (Studies of The Prophet)
3)
Kajian tentang al Qur‟an
4)
Kajian tentang hadits
5)
Kalam
6)
Hukum Islam
7)
Tasawuf (sufism)
8)
Filsafat
9)
Sekte-sekte
Islam
10) Kajian tentang Ibadah
11)
Kajian agama
popular (Agama rakyat)
C.
KESIMPULAN
Menurut
Charles J. Adams ada beberepa definisi tentang Islam. Pertama, adalah
bahwa Islam merupakan peradaban dan arahan hidup. Kedua, Islam
harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah,
berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon secara
mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Dalam memberikan pemahaman tentang
agama, Adams berangkat dari kerangka teoritisnya Wilfred Cantwell Smith, yang
mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan dalam memahami agama sebagai tradisi (tradition)
dan agama sebagai kepercyaan (faith).
Menurut Adams, pengkaji Islam dalam melakukan
studinya bisa menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan
pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif meliputi tiga pendekatan, yaitu
pendekatan misionaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan
simpatik (irenic). Sedangkan pendekatam deskriptif meliputi pendekatan
filologis dan sejarah, pendekatan sosial dan pendekatan fenomenologis.
Dalam mengkaji Islam, ada beberapa bidang
kajian yang ditawarkan Adams, yaitu, Arab pra-Islam, studi tentang Nabi
Muhammad, al-Qur’an, hadis, kalam, hukum Islam, filsafat, tasawuf, aliran Islam
khususnya Syi’ah, ibadah, dan populer religion.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, 2003,
Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Adonis, 2007, Arkeologi
Sejarah Pemikiran Arab Islam, terj Khoiron Nahdhiyyin, Yogyakarta, Lkis.
Aholib Watloly,
2001, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara
Kultural, Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat.
Amin Abdullah, 2000,
Mencari Islam : Studi berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Charles J. Adam, Islamic
Religiuos Tradition, dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the
Middle-East, New York, Wiely & Sons, tt.
Imam Syaukani,
2006, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Mukti Ali,
1971, Universalitas dan Pembangunan, Bandung: IKIP Bandung.
Pius A Partanto dan M.
Dahlan al Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit
Arkola.
Zakiyuddin Baidhawy,
2001, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press.
[1] Charles J. Adam, "Islamic
Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the
Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.), hlm. 29
[2]
Ibid, hlm. 29.
[3]
Ibid, hlm. 29
[4]
Ibid, hlm. 33
[5]
Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, terj Khoiron
Nahdhiyyin (Yogyakarta, Lkis, 2007 ), hlm. xxvii
[6]
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 22
[7]
Chaerles J. Adams , Islam Religious Tradition, hlm. 31
[8]
Ibid, hlm. 33
[9]
Amin Abdullah, Mencari Islam : Studi berbagai Pendekatan (
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 2
[10]
Mukti Ali,Universalitas dan Pembanguunan ( Bandung: IKIP Bandung,
1971), hlm. 4
[11]
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 28
[14] Ibid, hlm. 37
[15] Ibid, hlm. 38
[16] Ibid, hlm. 38
[17] Pius A Partanto dan M. Dahlan al
Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994),
hlm. 178.
[19] Zakiyuddin Baidhawy, “Perkembangan
Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, dalam Richard C.
Martin,(ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, terj.
Zakiyuddin, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press, 2001), xiii-ix.
[21] Aholib Watloly, Tanggung Jawab
Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, (Yogyakarta:
Kanisius; Pustaka Filsafat, 2001), hlm. 95
