Pendidikan Humanis
1. Pengertian
Pendidikan Humanis
Paradigma pendidikan humanistik memandang manusia
sebagai ”manusia”, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai
makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup.
Sebagai makhluk batas (antara hewan dan malaikat), ia memiliki sifat-sifat
kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur),
sebagai makhluk dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya;
sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi,
ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia
memiliki hak-hak sosial; sebagai hamba Tuhan, ia harus menunaikan
kewajiban-kewajiban keagamaannya. Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia
yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: (1) manusia yang
menghargai dirinya sendiri sebagai manusia, (2) manusia yang menghargai manusia
lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri, (3)manusia memahami dan
melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia, (4)manusia memanfaatkan
seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dan
(5)manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia.[1]
Pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2] Sedangkan
Humanis berasal dari bahasa Inggris Human yang berarti manusia, humanisme
mempunyai pengertian ajaran untuk memanusiakan manusia.
Jadi pendidikan humanis adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sesuai
dengan fitrah manusia (anak didik).
2. Pendapat-pendapat
para pakar psikologi tentang pendidikan humanistik
a. Abraham Maslow
Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada
tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Abraham Maslow
dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa
manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya
yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of
Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai
dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi
(aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan
bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan
fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and
belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem
needs (kebutuhan akan harga diri), dan, self-actualization (kebutuhan akan
aktualisasi diri).[3]
1)
Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan
sebagainya.
Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil,
menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi,
maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit,
sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini
juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan
yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih
tinggi.
2)
Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara
layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul Keadaan aman, stabilitas,
proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak
terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat
pemenuhan kebutuhan lainnya.
3)
Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di
atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan
rasa memiliki. Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk
mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk
menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub
peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan
timbul.
4)
Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi,
akan timbul kebutuhan akan harga diri। Menurut Maslow, terdapat dua
jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan
seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan
kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan
kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan
rendah diri dan inferior.
5)
Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow
adalah kebutuhan akan aktualisasi diri। Jenis kebutuhan ini berkaitan
erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri. Menurut
Abraham Maslow, kepribadian bisa mencapai peringkat teratas ketika
kebutuhan-kebutuhan primer ini banyak mengalami interaksi satu dengan yang lain,
dan dengan aktualisasi diri seseorang akan bisa memanfaatkan faktor
potensialnya secara sempurna.
b. Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan pada 8 Januari 1902 di
Oak Park, Illinois dan meninggal dunia di La Jolla, California, pada 4 Februari
1987 sewaktu berumur 85 tahun. Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik
yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara
klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah
kehidupannya. Carl Rogers menyakini bahwa berbagai masukan yang ada pada diri
seseorang tentang dunianya sesuai dengan pengalaman pribadinya. Masukan-masukan
ini mengarahkannya secara mutlak ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya.
Rogers
menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan berusaha keras demi
aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan diri (self
maintenance), dan peningkatan diri (self inhancement).[4]
Naisaban (2004) menyebutkan bahwa Rogers dianggap penting tidak hanya sebagai
teoretisi tapi juga sebagai praktisi psikoterapi. Konsep mengenai kepribadian
dan terapi berkisar pada gagasan dan kepercayaan bahwa predominasi (keunggulan)
mendasar diri yang subjektif dan bahwa manusia hidup dalam dunia pribadi dan
subjektif. Rogers
mengatakan bahwa individu mempunyai seperangkat persepsi yang terorganisir dari
dirinya serta hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berkeping-keping
tetapi suatu “gestalt” dengan suatu pola koheren dan terpadu. Sebagai tambahan
pada konsep diri, individu mempunyai Ideal Self, yaitu apa yang
diinginkan, cita-cita atau dianggap seharusnya demikian. Rogers memakai ketidaksesuaian antar konsep
diri dengan Ideal Self sebagai ukuran ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Rogers
berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang
dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep dirinya tidak
sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang
atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme
pertahanan diri. Rogers
yakin bahwa ada penyesuaian psikologis bila konsep diri ada dalam posisi
sedemikian rupa sehingga semua pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan
yang konsisten dengan konsep diri.
Rogers
sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia। Dia yakin
bahwa dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan,
mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan
memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan punya
car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan merupakan
buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan introyeksi
dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya simbolisasi yang
menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan terjadinya intergrasi
yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai akibatnya, banyak
individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu merealisasikan secara penuh
potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses penyuluhan non-direktif
memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya yang sejati mengenai
kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga dirinya.
c. Charles Bouille (sekitar 1475-1553),
Charles Bouille adalah seorang humanis Prancis, dalam
bukunya yang berjudul De Sapiente. Dalam buku ini dia
mensejajarkan manusia yang cerdas dengan Phyromitos. Kesejajaran ini terletak
pada akal yang diberikan kepada manusia agar bisa menyempurnakan tabiatnya.
Dengan penelitian-penelitian teoritis yang efektif, dan dengan keyakinannya
yang ekstrim, Bouille mengupas soal kelayakan dan kapabilitas manusia untuk
membentuk kehidupannya sendiri di dunia. Keyakinan inipun menjadi semakin tajam
dengan kemajuan-kemajuan skeptisisme yang dicapai humanisme di luar Italia pada
abad pertengahan.
3. Pendekatan Humanis
Pendekatan
pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka
untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya
sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan
dalam pembelajaran yang humanistik adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan
ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama
secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan
fasilitator dan partner dialog; pendekatan reflektif mengajak peserta didik
untuk berdialog dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan ekspresif mengajak
peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi
dan aktulisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih
tangungjawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam
proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan
diperjuangkannya.[5]
Pendidikan
yang humanistik menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah
bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan
antar pribadi dan kelompok di dalam komunitas sekolah. Relasi ini berkembang
dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh
cintakasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan
relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta (unconditional love), hati yang penuh
pengertian (understanding heart)
serta relasi pribadi yang efektif (personal
relationship).Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri
sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur (modeling). Mendidik tidak sekedar
mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta
didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuh kembangkan
dirinya secaraoptimal. Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun
seseorang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi
bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuh
kembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif
adalah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikannya
adalah apa yang menjadi “dunia”, minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik.
Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba
mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learners-centered
teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik
menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Komunikasi dan
relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada
siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif, peserta
didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian
mem- “fungsi” -kan dirinya di dalam masyarakat secara optimal.[6]
Tujuan
sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri
peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang
dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan
sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran
dan pendidikan yang humanistik serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif
dan keterampilan yang memadai (income
generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif
dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh
kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun
keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan pendidikan pada
hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N. Driyarkara). Pendidikan
hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi
pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin “penuh” sebagai manusia),
berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan
bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang
handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki
watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian,
namun tetap humanis.[7]
4. Model Pembelajaran
Humanis
Dari
beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang
humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning,
quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.[8]
a.
Humanizing of the classroom ini
dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga
banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya
alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang.
Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus
pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu
pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan
akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan
kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada
substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang
dipandang sangat manusiawi.[9]
b.
Active learning dicetuskan
oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran
ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian
informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan
sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar
pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah
dan menerapkan apa yang mereka pelajari.Dalam active learning, cara belajar
dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat
akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan
siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan
akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran
yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat,
menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran
aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.[10]
salah satunya adalah
pembelajaran aktif “semua adalah guru”yang menyanangkan strategi untuk
mendapatkan partisipasi kelas dengan mudah dan besar serta tanggung jawab
secara individu, strategi ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi
pengajar pada temannya sendiri.
c.
quantum learning merupakan
cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di
dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning
menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik
dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan
bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan
mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan
metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara
berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu
harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk
untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.[11]
d.
quantum teaching berusaha
mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar
yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa
menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi
prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan
progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang
mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini
bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah
dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan
full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan,
dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya,
serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya,
diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
e.
The accelerated learning merupakan
pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa
pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik
konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas
menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI).
Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan
bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing
(belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by
observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan).
Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting
(belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi DePorter
menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan
kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan.
Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan,
tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara
berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur
ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.[12]
5. Aspek-aspek kemanusian
dalam pembelajaran
Manusia
adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut
pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan
rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya.Manusia
akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani
(nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian,
ekonomi, kemasyarakatan dan politik. Howard Gardner (1983) menelaah manusia
dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan).
Menurutnya, manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:[13]
a. Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah,
penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
b. Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan
dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi pelajaran di sekolah
berhubungan dengan kecerdasan ini)
c. Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan
dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi
d. Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan
badan, memahami sesuatu berdasar gerakan
e. Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan
pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme
f. Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang
mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan
menciptakan gambaran mental.
g. Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan
dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal
rohani.
Kecerdasan
inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman (1995) disebut
dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa sebagian besar kegiatan
kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan
otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan
(intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme).
Penting pula dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah laku dibedakan.
Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan. Sayang bahwa hanya
kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang dikembangkan di sekolah,
sedangkan yang lainnya hanya sedikit sekali. [14]
Hal
ini tentu merugikan siswa sebab tidak semua bakat dan kemampuannya dieksplorasi
dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian siswa yang memiliki kelebihan
kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan kita
mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas
baik otak kanan maupun otak kiri,yang mengembangkan semua aspek kemanusiaan
perseorangan.
Ki
Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia,
melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia
memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya
menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya
secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja
akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan
bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan
menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai
sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang
sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain
adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya.
Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi
adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat
itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia
kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain
dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang
melingkupinya.[15]
Dari
catatan di atas terlihat bahwa para psikolog humanis melihat pribadi manusia
sebagai wujud yang sepenuhnya terpusat kepada dirinya sendiri. Menurut
pandangan ini, setiap orang adalah sosok yang tunggal dan bukan dalam bentuk
individu-individu dari satu spesis yang sama. Karena itu, setiap individu
terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya sendiri, bahkan dalam hal yang
menyangkut tatanan nilai yang menguasai perilakunya. Perspektif
para humanis terlihat juga menempatkan sebab pelaku (‘illaf fai’iliah)
dan sebab tujuan (‘illah gha-iah) di dalam diri manusia sehingga
individu bisa mengaktualisasikan segenap potensi dirinya tidak hanya dalam
bentuk yang terasing dari sebab-sebab di luar, tetapi bahkan juga dalam posisi
yang mengemban tujuan dari perwujudan dirinya, dan individu ini sepenuhnya
bertumpu pada dirinya sendiri dalam proses aktualisasi diri, pemeliharaan diri,
dan peningkatan diri. Dan eksistensi kesendirian ini menurut para psikolog bisa
menimbulkan keguncangan di luar batas. Sebagai aktualisasi makna dari
pendidikan humanistik dalam proses pembelajaran. Sugihartono, dkk (2004)
menyatakan bahwa teori humanistik adalah suatu teori yang bertujuan
memanusiakan manusia. Tujuan utama para pendidik adalah membantu para siswa
untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Kerangka Berpikir dari
Teori belajar Humanitik adalah : (1) merumuskan tujuan belajar yang jelas, (2)
mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat
jelas, jujur dan positif. (3) mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan
siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri, (4) mendorong siswa untuk peka,
berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri, (5) siswa
didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang
ditunjukan, (6) guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahai jalan pikiran
siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung
jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya, (7) memberikan
kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatan, (8) evaluasi diberikan secara
individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.[16]
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau
spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan.
Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para
siswa sedangkan guru memberi motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai
pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya
sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya
secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Sugihartono,
dkk (2004) menyatakan bahwa teori pembelajaran humanistik memiliki beberapa
kekurangan dan kelebihan adalah : Kekurangan : 1) jika tidak terkontrol, murid
akan mempunyai sikap egois yang tinggi. Melakukan apa yang mereka
inginkan tanpa batas। 2) guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai.
Sedangkan kelebihan dari teori pembelajaran humanitik : 1) memanusiakan
manusia, 2) teori yang paling cocok diterapkan untuk pembentukan kepribadian,
hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena social, 3) siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Y Priyono Pasti (2004). Dalam
sebuah artikel pada harian Kompas (Desember 2004) menyatakan bahwa, Saat ini
model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang demokratis,
partisipatif, dan humanis: yaitu adanya suasana saling menghargai, adanya
kebebasan berpendapat/berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya
keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup
bersama dengan teman yang mempunyai pandangan berbeda. Oleh karena itu,
paradigma pembelajaran dan pendidikan seyogianya merupakan sebuah paradigma
pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi, pendekatan proses dan
teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala
eksistensinya.[17]
Model
pendidikan dan pembelajaran yang didominasi kegiatan ceramah, yang menempatkan
guru sebagai figur sentral dalam proses pembelajaran di kelas karena banyak
berbicara, sementara siswa hanya duduk manis menjadi pendengar pasif dan
mencatat apa yang diperintahkan guru, harus segera ditinggalkan. Paling tidak
dikurangi. Sebaliknya, model pembelajaran yang memberikan peluang yang lebih
luas kepada peserta didik untuk terlibat aktif dalam mengonstruksi pengetahuan
dan pemahamannya dalam proses ”pemanusiaannya” mutlak ditumbuhkembangkan.
Sebagai upaya mendorong agar terciptanya model pendidikan yang demokratis dan
humanistik meminjam gagasan Paul Suparno ada beberapa hal yang mesti dilakukan.
1.
Hindari indoktrinasi. Biarkan
siswa aktif dalam berbuat, bertanya, bersikap kritis terhadap apa yang
dipelajarinya, dan mengungkapkan alternatif pandangannya yang berbeda dengan
gurunya.
2.
Hindari paham bahwa hanya ada satu
nilai saja yang benar. Guru tidak berpandangan bahwa apa yang disampaikannya
adalah yang paling benar. Seharusnya yang dikembangkan adalah memberi ruang
yang cukup lapang akan hadirnya gagasan alternatif dan kreatif terhadap
penyelesaian suatu persoalan.
3.
Beri anak kebebasan untuk
berbicara. Siswa mesti dibiasakan untuk berbicara. Siswa berbicara dalam
konteks penyampaian gagasan serta proses membangun dan meneguhkan sebuah
pengertian harus diberi ruang yang seluas-luasnya.
4.
Berilah ”peluang” bahwa siswa
boleh berbuat salah. Kesalahan merupakan bagian penting dalam pemahaman. Guru
dan siswa menelusuri bersama di mana telah terjadi kesalahan dan membantu
meletakkannya dalam kerangka yang benar.
5.
Kembangkan cara berpikir ilmiah
dan berpikir kritis. Dengan ini siswa diarahkan untuk tidak selalu mengiyakan
apa yang dia terima, melainkan dapat memahami sebuah pengertian dan memahami
mengapa harus demikian.
Berilah kesempatan yang luas kepada siswa untuk
bermimpi dan berfantasi (gagasan Paulo Freire). Kesempatan bermimpi dan
berfantasi bagi siswa menjadikan dirinya memiliki waktu untuk dapat
berandai-andai tentang sesuatu yang menjadi keinginannya. Dengan cara demikian,
siswa dapat berandai-andai mengenai berbagai kemungkinan cara dan peluang untuk
mencari inspirasi serta untuk mewujudkan rasa ingin tahunya. Hal demikian pada
gilirannya menanti dan menantang siswa untuk menelusuri dan mewujudkannya dalam
aktivitas yang sesungguhnya. [18]
[1] Muhammad Iqbal
Bahua, Makna dan Arti Pendidikan dalam
Teori Humanis, http://eeqbal.blogspot.com/2009/05/makna-dan-arti-pendidikan-dalam-teori_14.html
[2] Depdiknas, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, BP.Cipta Jaya, Jakarta, 2003, Cet.ke-2, hlm.163
[3] W.S. Winkel, Psikologi
Pengajaran, Gramedia, Jakarta,
1987, Cet ke-6, hlm. 186.
[4] http:www.
geocities. com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf
[5] Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Psikologi Pendidikan,
Gramedia Widiasarana. Jakarta,
2002.
[6] Triweda
Rahardjo, Efektifitas Komunikasi Dalam Pelaksanaan Proses Belajar
Mengajar Pada Smk Negeri Di Kota Kediri,
Balai Pengkajian dan Pengembangan
Informasi Wilayah V Surabaya, KomMTi
– Volume : 2, No. : 5 / September 2008
[8] Iwayan, Satya “Model-Model Pembelajaran Inovatif” Makalah
Disajikan dalam pelatihan tentang Penelitian
Tindakan Kelas bagi Guru-Guru SMP dan SMA di Nusa Penida,tanggal 29 Juni s.d 1
Juli 2007, Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas
Pendidikan Ganesha, 2007, hlm. 8
[9] Beda Strategi,
Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran, http://smacepiring.wordpress.com,
diunduh tanggal 25 Oktober 2010
[10] Hasil
sarasehan dan seminar pendidikan islam terpadu (PIT ), Asrama Haji, Yogyakarta, Tgl 9-10 juni 2001
[11] Tobroni, “Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah”, http,//re-searhengines.com/
drtobroni 5-07.html., h 3.
[12] Sahaka, Model
Pembelajaran Humanis, Sahaka@yahoo.com
[13]
http://thantien.blog.friendster.com/tag/pendidikan-humanis/
[14] Daniel Goleman, Social
Intelligence: Ilmu Baru Tentang Hubungan Antar Manusia’, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm. 56
[15] Artikel secara lengkap mengenai ini dapat diakses pada http://www.pmptk.net/index.php?option=com_content&task=view&id=374&Itemid=310
dengan judul artikel ‘Ki Hajar Dewantara dan Konsepnya’ yang ditulis oleh Ketua
Majelis Luhur Taman Siswa, Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd.
[16] Reformasi
Pendidikan Sebuah Rekomendasi dalam Y Priyono Pasti, Kompas 2004
[17] Reformasi
Pendidikan Sebuah Rekomendasi dalam Y Priyono Pasti, Kompas 2004
[18] Reformasi
Pendidikan Sebuah Rekomendasi dalam Y Priyono Pasti, Kompas 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar