Minggu, 23 November 2014

PERKEMBANGAN MORAL ANAK

Perkembangan Moral Anak

a.       Pengertian Perkembangan Moral
Perkembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal berkembang sedangkan kata “berkembang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti mekar terbuka atau membentang menjadi besar, luas dan banyak serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan dan sebagainya.[1]
Adapun pengertian perkembangan telah banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya diantaranya adalah sebagai berikut :
1)      Menurut Negel (1957), perkembangan merupakan pengertian di mana terdapat struktur yang terorganisasikan dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu, oleh karena itu bilamana terjadi perubahan struktur baik dalam organisasi maupun dalam bentuk, akan mengakibatkan perubahan fungsi.
2)      Menurut Schneirla (1957), perkembangan adalah perubahan-perubahan progesif dalam organisasi organisme, dan organisme ini dilihat sebagai sistem fungsional dan adaptif sepanjang hidupnya. Perubahan-perubahan progesif ini meliputi dua faktor yakni kematangan dan pengalaman.
3)      Spiker (1966), mengemukakan dua macam pengertian yang harus dihubungkan dengan perkembangan, yakni:
a)      Ortogenetik, yang berhubungan dengan perkembangan sejak terbentuknya individu yang baru dan seterusnya sampai dewasa.
b)      Filogenetik, yakni perkembangan dari asal-usul manusia sampai sekarang ini. Perkembangan perubahan fungsi sepanjang masa hidupnya menyebabkan perubahan tingkah laku dan perubahan ini juga terjajdi sejak permulaan adanya manusia. Jadi perkembangan ortogenik mengarah ke suatu tujuan khusus sejalan dengan perkembangan evolusi yang mengarah kepada kesempurnaan manusia.
4)      Bijou dan Bear (1961) mengemukakan perkembangan psikologis adalah perubahan progesif yang menunjukkan cara organisme bertingkah lau dan berinteraksi dengan lingkungan. Interaksi yang dimaksud di sini adalah apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak, tergantung dari perangsang-perangsang yang ada di lingkungannya.  Rumusan lain tentang arti perkembangan dikemukakan oleh Libert, Paulus, dan Strauss, yaitu bahwa: “Perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungannya.” Istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai gejala-gejala psikologis yang menampak. Perkembangan dapat juga dilukiskan sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan proses pertumbuhan, kematangan, dan belajar.[2]
Perkembangan suatu proses kreatif. Karena perkembangan itu meliputi proses organisasi dan reorganisasi maka perkembangan merupakan proses yang kreatif dalam arti bahwa individu memilih aspek-aspek lingkungan, dan terhadap lingkungan itu ia harus memberikan respons.[3]
Jadi perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati. Atau dengan kata lain perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan baik mencakup fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).[4]
Yang dimaksud dengan sistematis, progresif dan berkesinambungan adalah sebagai berikut :
1)      Sistematis, berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling bergantung dan mempengaruhi antara satu bagian dan bagian lainnya baik fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Sebagai contoh, kemampuan jalan seseorang terjadi seiring dengan kesiapan otot-otot kaki. Contoh lain adalah kemampuan berbicara. Kemampuan ini sejalan dengan tingkat perkembangan intelektual atau kognitifnya.
2)      Progresif, berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebagai contoh, perubahan proporsi dan ukuran fisik seseorang dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar. Contoh lain adalah perubahan pengetahuan dan keterampilan seseorang dari sederhana sampai kepada yang rumit.
3)      Berkesinambungan, berarti perubahan pada bagian atau fungsi organisme seseorang berlangsung secara beraturan atau berurutan. Sebagai contoh, kemampuan berdiri didahului oleh tahapan perkembangan sebelumnya, yaitu kemampuan duduk dan merangkak.[5]
Sedangkan kata “moral” berasal dari  Bahasa  Latin mores yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.[6]  Moral secara umum merupakan ajaran baik buruk yang diterima masyarakat umum mengenai perbuatan.
Adapun arti tentang moral secara terminologi ada beberapa pendapat oleh para ahli antara lain:
1)      Zakiah Daradjat, moral adalah “kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut”.[7]
2)      Nurdin dkk, moral merupakan penjabaran dari nilai yang bersumber dari wahyu Ilahi dan budaya.[8]
3)      Helden (1977) dan Richards (1971) merumuskan pengertian moral sebagai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan  tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan.
4)      Atkinson (1969) mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan oleh manusia.[9]
Jadi moral itu merupakan aplikasi perbuatan yang berdasarkan pada ajaran Agama (Islam) dan dari unsur budaya yang diakui sebagai kebenaran dalam masyarakat yang dilakukan dengan penuh kesadaran pribadi yang bersangkutan secara kontinu.
Dengan demikian pengertian perkembangan moral anak yaitu terkait dengan perkembangan cara berpikir (kognitif) anak. Artinya, semakin tinggi tingkat perkembangan berpikir anak, semakin besar pula potensi anak mencapai tingkat perkembangan moral yang lebih baik. Meskipun demikian, belum tentu anak yang mempunyai kecerdasan tinggi akan dengan sendirinya memiliki tingkat perkembangan moral yang baik pula.
b.      Tingkat dan Tahapan Perkembangan Moral
Ketika individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan sosial tempat ia berada, bersamaan itu pula, individu mulai menyadari bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan, norma-norma/nilai-nilai yang dianutnya itu disebut moralitas.
Moralitas adalah satu set prinsip-prinsip atau idealisme-idealisme yang dapat membantu seseorang untuk 1) membedakan benar dan salah; 2) bertingkah laku berdasarkan prinsip tersebut; 3) merasa bangga apabila bisa bertingkah laku sesuai dengan standar dan merasa malu atau merasa bersalah apabila tidak berhasil.
Tiga komponen dari moralitas adalah :
1)      Komponen Afektif: komponen yang berisi perasaan-perasaan seputar tingkah laku yang berdasarkan pada standar moralitas.
2)      Komponen Kognitif: bagaimana mengkonseptualisasikan benar dan salah dan memutuskan bagaimana bertingkah laku.
3)      Komponen Behavioral: merefleksikan bagaimana kita bertingkah laku ketika menghadapi godaan untuk berbohong, curang, atau untuk melanggar standar moral kita
Menurut Peaget dalam bukunya The Moral Judgment of the Child, menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Pieget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut: pertama, kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Pieget mengamati anak-anak bermain kelereng, suatu permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak di seluruh dunia, atau permainan itu jarang diajarkan secara “formal” oleh orang dewasa; dengan demikian permainan itu mempunyai peraturan yang jarang dicampurtangankan oleh orang dewasa. Sesuai dengan perkembangan umur, orientasi terhadap peraturan itu berkembang dari sikap heteronom (bahwa peraturan berasal dari luar diri seseorang) ke sikap yang semakin otonom (bahwa peraturan ditentukan juga oleh subjek yang bersangkutan). Padatahap heteronom anak-anak beranggapan bahwa peraturan berasal dari diri mereka, bersifat suci, harus dihormati, dan tidak boleh diubah oleh para pemain. Pada tahap otonom anak-anak beranggapan bahwa peraturan-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para pemain.
Tahap pertama, anak-anak yang paling muda, sampai umur 2 tahun, bermain asal bermain, tanpa aturan permainan, mereka adalah motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran. Dengan dengan demikian dalam hal kesadaran akan peraturan, anak sampai usia dua tahun belum menyadari adanya peraturan yang koersif, artinya bersifat memaksa dan harus ditaati. Dalam pelaksanaan peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu berupa motor activity.
Tahap kedua, pada umur antara 2 tahun sampai 6 tahun, anak-anak memperhatikan cara bermain dari anak-anak yang lebih besar dan mulai menirukan mereka. Sudah tumbuh kesadaran bahwa dalam permainan itu ada peraturan dan peraturan itu suci, diturunkan dari surge sana, maka tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun. Barangsiapa berani mengubah, ia bersalah besar. Dalam melakukan permainan ituanak dalam tahap ini bersifat egosentris: dia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi tujuannya sendiri, tidak tahu bahwa permainan itu merupakan aktivitas besama anak-anak lain. Jadi, walaupun mereka bermain beramai-ramai (lebih dari satu orang) tetapi sebenarnya mereka bermain sendiri-sendiri. Pelaksanaan yang bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari tahap yang indivudalistis murni ke tahap permainan yang bersifat social.
Tahap ketiga, pada umur 7 sampai 10 tahun, anak-anak beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada kesenangan yang didapatkan dan persaingan dengan kawan bermain dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlakudan disetujui bersama. Walaupun sebenarnya tidak paham akan peraturan sampai hal yang sekecil-kecilnya, namun keinginan untukbekerja sama dengan kawan bermain dengan setia mengikuti peraturan itu. Tampak bahwa dalam tahap ini sikap heteronom mulai berkurang  dan sikap otonom mulai tumbuh.
Antara umur 11 sampai 12 tahun kemampuan anak untuk berpikir abstrak mulai berkembang. Pada umur-umur itu kodifikasi (penentuan) peraturan sudah dianggap perlu. Kadang-kadang mereka labih asyik tertarik pada soal-soal peraturan dari pada menjalankan permainannya sendiri.
Bagi anak-anak semua peraturan adalah sama, amka proses perkembangan rasa hormat pada peraturan moral sama juga dengan proses perkembangan rasa hormat pada peraturan bermain kelereng. Anak berkembang dari kesadaran bahwa peraturan moral adalah suci dan tidak boleh diganggu gugat. Pelaksanaannya juga bersifat egosentris sekedar meniru apa yang dilhatnya saja. Pada tahap heteronom ini apa yang diperintahkan oleh orang dewasa adalah baik, hanya karena yang memerintahkan adalah orang dewasa, yang dianggap lebih tahu, lebih kuat dan kuasa. Sedangkan apa yang dilarang oleh orang dewasa adalah buruk. Perkembangan mengarah kepada sikap yang semakin otonom. Pada tahap otonom peraturan-peraturan yang disetujui bersama merupakan kesepakatan bersama hal mana kita lihat mulai mewarnai keadaan pada anak-anak yang mulai menginjak usia remaja.[10]
Kohlberg mengemukakan tahapan perkembangan moralitas individu, sebagaimana tampak dalam tabel berikut:[11]
No
Tingkat
Tahap
1.
Pre Conventional (0-9)
Orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman
Relativistik hedonism
2.
Conventional (9-15)
Orientasi mengenai anak yang baik
Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas
3.
Post Conventional (>15)
Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial
Prinsip etis universal
Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan enam tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu tingkat:[12]
1)      Prakonvensional
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka)  kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah.  Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya.
2)      Konvensioal
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri.  Anak tidak hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban social.
3)      Post-konvensional
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana.
Masing-masing tingkat dari dua tahap, sehingga keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang mencapai tahap terakhir perkembangan moral.
Dalam stadium nol, anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Sesudah stadium ini datanglah:
1)      Tingkat I; Prakonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada stadium I, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui  bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi, ada relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
2)      Tingkat II; Konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, di mana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan seseorang baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut memperhatikan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacuan.
3)      Tingkat III; Pasca-Konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun di sini kata hati sudah mulai berbicara, namun penilaian-penilaiannya masih timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang seringkali tampak dalam sikap yang kaku.
Stadium 6, tahap ini disebut Prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik di samping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang kemudian oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvesional harus dicapai selama masa remaja.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan dalil berikut :
1)      Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
2)      Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
3)      Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertarik pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri.  Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3.  Berdasarkan inilah kohlberg percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.
4)      Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik.  Sesorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya.  Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.
c.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Sama seperti perkembangan lainnya, maka perkembangan moral juga dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Bagi para ahli psikoanalisis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khsusnya dari orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan seperego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya.
Di dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting. Di antara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yng berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus di mana faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi nalar sebagaimana dikemukakan oleh Pieget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Pieget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.[13]
Kohlberg menyatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan moral anak, yaitu :
1)      Interaksi dengan teman sebaya.
Kohlberg sepakat dengan Piaget bahwa interaksi dengan teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar pada perkembangan moral anak daripada pemaksaan aturan oleh orangtua. Interaksi ini dapat berupa proses modeling atau transactive interaction. Transactive interaction adalah pertukaran reasoning mengenai moralitas. Asimilasi dan akomodasi dapat menjadi hasil dari  transactive interaction.
Sedangkan pemberian nilai-nilai oleh orangtua akan dipandang sebagai hal yang tidak menyenangkan dan akan menimbulkan penolakan pada anak ataupun remaja.
2)      Pendidikan lanjutan.
Individu yang mengikuti pendidikan tinggi biasanya memiliki reasoning mengenai moralitas yang lebih kompleks dibandingkan dengan individu yang pendidikannya lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena:
a)      pendidikan mengakomodasi perkembangan kognitif,
b)      memberikan kesempatan untuk melihat perpektif yang berbeda-beda dan konflik moralitas.
3)      Pengaruh budaya
Misalnya, lingkungan yang demokratis, yang memberikan kesempatan untuk berdiskusi memberikan kesempatan untuk moral berkembang.
d.      Pendidikan Moral
Pendidikan moral dapat dirumuskan sebagai: suatu proses yang disengaja di mana para warga muda dari masyarakat dibantu supaya berkembang dari orientasi yang bersifat pada diri sendiri mengenai hak-hak dan kewajiban mereka, kea rah pandangan yang lebih luas, yaitu bahwa dirinya berada dalam masyarakat dan ke arah pandangan yang lebih mendalam mengenai diri sendiri.[14]
Dalam pendidikan moral, guru diharapkan membantu anak didik untuk berkembang. Jadi yang diharapkan bukannya supaya guru dapat menanamkan nilai-nilai moral secara indoktrinatif kepada para siswa. Pendidikan moral tidak berarti membeberkan tetapi para siswa dengan sendirinya berlaku sesuai dengan nilai-nilai itu. Dari pengalaman dapat dilihat bahwa bentuk pendidikan moral yang berisi nasihat-nasihat dan petuah-petuah hanya mendatangkan kebosanan pada PMP. Satu tren dalam pendidikan moral adalah menghindarkan pemaksaan nilai-nilai pada siswa, sebaliknya usahakan itu dibimbing melalui suatu proses ke arah nilai-nilai dan hendaknya mereka disadarkan adanya bermacam-macam ide dan argumentasi dalam bidang nilai sebagai rangsangan untuk berpikir.[15]
Pendidikan moral pancasila sebagai salah satu komponen kurikulum yang berorientasi pada tujuan pendidikan, bersama komponen yang lain harus dapat mencapai tujuan pendidikan nasional seperti dirumuskan oleh GBHN 1978; meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kecerdasan dan ketterampilan dan mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan. Tujuan akhirnya adalah agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan.[16]
Pendidikan moral ini telah dicontohkan Lukman dalam mendidik anaknya sebagai mana terdapat dalam Al-Qur’an yaitu Surat Lukman ayat 13 sampai dengan 19 yang isinya: perintah untuk bersyukur kepada kedua orang tua menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkran, bersabar, larangan terhadap perbuatan sombong dan angkuh.[17]
Demikianlah pentingnya akhlak, atau moral sehingga Allah mengutus Rasul SAW. Guna untuk menyempurnakan akhlak manusia. Maka anak harus diberikan pendidikan akhlak atau moral Islam sejak dini (dalam keluarga, sekolah, masyarakat) moralitas merupakan faktor terpenting dalam masyarakat dan dalam kesempurnaan bangsa. Tidak seorangpun menyangkal peranan vital yang dimainkan oleh akhlak dalam membawa kedamaian kebahagiaan dan kesejahteraan rohani manusia, juga bermanfaat memperkuat tingkah laku dan pemikiran, baik pada pergaulan maupun masyarakat.[18]


[1] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 473.
[2] Sunarto, Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 38-39.
[3] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo Offset, Bandung, 2007, hlm. 84.
[4] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2012, hlm. 15.
[5] Mahmud, Psikologi Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 345.
[6] Elizabeth B. Hurlock, t.th, Pekembangan Anak, Erlangga, Jakarta, 1999, edisi VI, hlm. 74.
[7] Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Gunung Agung cet II, Jakarta, 1970, hlm. 64.
[8] Muslim Nurdin,et.al, Moral dan Kognisi Islam, AL FABETA, edisi I, Bandung, 1993, hlm. 209.
[9] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak;Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm. 28.
[10] Burhanuddin,Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 67-70
[11] Mahmud, Op.Cit., hlm. 358-359.
[12] Sunarto, Agung Hartono, Op.Cit., hlm. 172-174.
[13] Sunarto, Agung Hartono, Op.Cit., hlm. 174-176.
[14] Burhanuddin Salam, Op.Cit., hlm. 76-77
[15] Ibid, hlm. 77
[16] Ibid, hlm. 80
[17] Depag RI, Op. Cit., hlm. 250.
[18] Sayyid Mujtaba Musafi Lari, Psikologi Islam Membangun Kembali Moral Generasi Muda, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1990, hlm. 45-47

PENDIDIKAN HUMANIS


Pendidikan Humanis
 
1.      Pengertian Pendidikan Humanis
Paradigma pendidikan humanistik memandang manusia sebagai ”manusia”, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas (antara hewan dan malaikat), ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur), sebagai makhluk dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya; sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak sosial; sebagai hamba Tuhan, ia harus menunaikan kewajiban-kewajiban keagamaannya. Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: (1) manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia, (2) manusia yang menghargai manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri, (3)manusia memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia, (4)manusia memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dan (5)manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia.[1]
Pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2] Sedangkan Humanis berasal dari bahasa Inggris Human yang berarti manusia, humanisme mempunyai pengertian ajaran untuk memanusiakan manusia.
Jadi pendidikan humanis adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sesuai dengan fitrah manusia (anak didik).
2.      Pendapat-pendapat para pakar psikologi tentang pendidikan humanistik
a.    Abraham Maslow
Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan, self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).[3]
1)        Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
2)        Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.
3)        Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.
4)        Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.
5)        Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri. Menurut Abraham Maslow, kepribadian bisa mencapai peringkat teratas ketika kebutuhan-kebutuhan primer ini banyak mengalami interaksi satu dengan yang lain, dan dengan aktualisasi diri seseorang akan bisa memanfaatkan faktor potensialnya secara sempurna.
b.    Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois dan meninggal dunia di La Jolla, California, pada 4 Februari 1987 sewaktu berumur 85 tahun. Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Carl Rogers menyakini bahwa berbagai masukan yang ada pada diri seseorang tentang dunianya sesuai dengan pengalaman pribadinya. Masukan-masukan ini mengarahkannya secara mutlak ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya. Rogers menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan berusaha keras demi aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan diri (self maintenance), dan peningkatan diri (self inhancement).[4]
Naisaban (2004) menyebutkan bahwa Rogers dianggap penting tidak hanya sebagai teoretisi tapi juga sebagai praktisi psikoterapi. Konsep mengenai kepribadian dan terapi berkisar pada gagasan dan kepercayaan bahwa predominasi (keunggulan) mendasar diri yang subjektif dan bahwa manusia hidup dalam dunia pribadi dan subjektif. Rogers mengatakan bahwa individu mempunyai seperangkat persepsi yang terorganisir dari dirinya serta hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berkeping-keping tetapi suatu “gestalt” dengan suatu pola koheren dan terpadu. Sebagai tambahan pada konsep diri, individu mempunyai Ideal Self, yaitu apa yang diinginkan, cita-cita atau dianggap seharusnya demikian. Rogers memakai ketidaksesuaian antar konsep diri dengan Ideal Self sebagai ukuran ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Rogers berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri. Rogers yakin bahwa ada penyesuaian psikologis bila konsep diri ada dalam posisi sedemikian rupa sehingga semua pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan yang konsisten dengan konsep diri.
Rogers sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia Dia yakin bahwa dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan punya car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan merupakan buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan introyeksi dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya simbolisasi yang menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan terjadinya intergrasi yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai akibatnya, banyak individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu merealisasikan secara penuh potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses penyuluhan non-direktif memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya yang sejati mengenai kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga dirinya.
c.    Charles Bouille (sekitar 1475-1553),
Charles Bouille adalah seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De Sapiente. Dalam buku ini dia mensejajarkan manusia yang cerdas dengan Phyromitos. Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada manusia agar bisa menyempurnakan tabiatnya. Dengan penelitian-penelitian teoritis yang efektif, dan dengan keyakinannya yang ekstrim, Bouille mengupas soal kelayakan dan kapabilitas manusia untuk membentuk kehidupannya sendiri di dunia. Keyakinan inipun menjadi semakin tajam dengan kemajuan-kemajuan skeptisisme yang dicapai humanisme di luar Italia pada abad pertengahan.
3.      Pendekatan Humanis
Pendekatan pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanistik adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog; pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktulisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tangungjawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.[5]
Pendidikan yang humanistik menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunitas sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cintakasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta (unconditional love), hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal relationship).Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur (modeling). Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuh kembangkan dirinya secaraoptimal. Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuh kembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi “dunia”, minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learners-centered teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif, peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian mem- “fungsi” -kan dirinya di dalam masyarakat secara optimal.[6]
Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanistik serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai (income generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N. Driyarkara). Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin “penuh” sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.[7]
4.      Model Pembelajaran Humanis
Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.[8]
a.         Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.[9]
b.         Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.[10]
salah satunya adalah pembelajaran aktif “semua adalah guru”yang menyanangkan strategi untuk mendapatkan partisipasi kelas dengan mudah dan besar serta tanggung jawab secara individu, strategi ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi pengajar pada temannya sendiri.
c.         quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.[11]
d.        quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
e.         The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.[12]
5.      Aspek-aspek kemanusian dalam pembelajaran
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya.Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik. Howard Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurutnya, manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:[13]
a.       Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
b.      Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
c.       Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi
d.      Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasar gerakan
e.       Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme
f.       Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran mental.
g.      Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan (intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme). Penting pula dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan. Sayang bahwa hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang dikembangkan di sekolah, sedangkan yang lainnya hanya sedikit sekali. [14]
Hal ini tentu merugikan siswa sebab tidak semua bakat dan kemampuannya dieksplorasi dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian siswa yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan kita mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas baik otak kanan maupun otak kiri,yang mengembangkan semua aspek kemanusiaan perseorangan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.[15]
Dari catatan di atas terlihat bahwa para psikolog humanis melihat pribadi manusia sebagai wujud yang sepenuhnya terpusat kepada dirinya sendiri. Menurut pandangan ini, setiap orang adalah sosok yang tunggal dan bukan dalam bentuk individu-individu dari satu spesis yang sama. Karena itu, setiap individu terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya sendiri, bahkan dalam hal yang menyangkut tatanan nilai yang menguasai perilakunya. Perspektif para humanis terlihat juga menempatkan sebab pelaku (‘illaf fai’iliah) dan sebab tujuan (‘illah gha-iah) di dalam diri manusia sehingga individu bisa mengaktualisasikan segenap potensi dirinya tidak hanya dalam bentuk yang terasing dari sebab-sebab di luar, tetapi bahkan juga dalam posisi yang mengemban tujuan dari perwujudan dirinya, dan individu ini sepenuhnya bertumpu pada dirinya sendiri dalam proses aktualisasi diri, pemeliharaan diri, dan peningkatan diri. Dan eksistensi kesendirian ini menurut para psikolog bisa menimbulkan keguncangan di luar batas. Sebagai aktualisasi makna dari pendidikan humanistik dalam proses pembelajaran. Sugihartono, dkk (2004) menyatakan bahwa teori humanistik adalah suatu teori yang bertujuan memanusiakan manusia. Tujuan utama para pendidik adalah membantu para siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Kerangka Berpikir dari Teori belajar Humanitik adalah : (1) merumuskan tujuan belajar yang jelas, (2) mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif. (3) mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri, (4) mendorong siswa untuk peka, berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri, (5) siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukan, (6) guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahai jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya, (7) memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatan, (8) evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.[16]
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberi motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Sugihartono, dkk (2004) menyatakan bahwa teori pembelajaran humanistik memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan adalah : Kekurangan : 1) jika tidak terkontrol, murid akan mempunyai sikap egois yang tinggi. Melakukan apa yang mereka inginkan tanpa batas 2) guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai. Sedangkan kelebihan dari teori pembelajaran humanitik : 1) memanusiakan manusia, 2) teori yang paling cocok diterapkan untuk pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena social, 3) siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Y Priyono Pasti (2004). Dalam sebuah artikel pada harian Kompas (Desember 2004) menyatakan bahwa, Saat ini model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis: yaitu adanya suasana saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat/berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan teman yang mempunyai pandangan berbeda. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran dan pendidikan seyogianya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi, pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala eksistensinya.[17]
Model pendidikan dan pembelajaran yang didominasi kegiatan ceramah, yang menempatkan guru sebagai figur sentral dalam proses pembelajaran di kelas karena banyak berbicara, sementara siswa hanya duduk manis menjadi pendengar pasif dan mencatat apa yang diperintahkan guru, harus segera ditinggalkan. Paling tidak dikurangi. Sebaliknya, model pembelajaran yang memberikan peluang yang lebih luas kepada peserta didik untuk terlibat aktif dalam mengonstruksi pengetahuan dan pemahamannya dalam proses ”pemanusiaannya” mutlak ditumbuhkembangkan. Sebagai upaya mendorong agar terciptanya model pendidikan yang demokratis dan humanistik meminjam gagasan Paul Suparno ada beberapa hal yang mesti dilakukan.
1.        Hindari indoktrinasi. Biarkan siswa aktif dalam berbuat, bertanya, bersikap kritis terhadap apa yang dipelajarinya, dan mengungkapkan alternatif pandangannya yang berbeda dengan gurunya.
2.        Hindari paham bahwa hanya ada satu nilai saja yang benar. Guru tidak berpandangan bahwa apa yang disampaikannya adalah yang paling benar. Seharusnya yang dikembangkan adalah memberi ruang yang cukup lapang akan hadirnya gagasan alternatif dan kreatif terhadap penyelesaian suatu persoalan.
3.        Beri anak kebebasan untuk berbicara. Siswa mesti dibiasakan untuk berbicara. Siswa berbicara dalam konteks penyampaian gagasan serta proses membangun dan meneguhkan sebuah pengertian harus diberi ruang yang seluas-luasnya.
4.        Berilah ”peluang” bahwa siswa boleh berbuat salah. Kesalahan merupakan bagian penting dalam pemahaman. Guru dan siswa menelusuri bersama di mana telah terjadi kesalahan dan membantu meletakkannya dalam kerangka yang benar.
5.        Kembangkan cara berpikir ilmiah dan berpikir kritis. Dengan ini siswa diarahkan untuk tidak selalu mengiyakan apa yang dia terima, melainkan dapat memahami sebuah pengertian dan memahami mengapa harus demikian.
Berilah kesempatan yang luas kepada siswa untuk bermimpi dan berfantasi (gagasan Paulo Freire). Kesempatan bermimpi dan berfantasi bagi siswa menjadikan dirinya memiliki waktu untuk dapat berandai-andai tentang sesuatu yang menjadi keinginannya. Dengan cara demikian, siswa dapat berandai-andai mengenai berbagai kemungkinan cara dan peluang untuk mencari inspirasi serta untuk mewujudkan rasa ingin tahunya. Hal demikian pada gilirannya menanti dan menantang siswa untuk menelusuri dan mewujudkannya dalam aktivitas yang sesungguhnya. [18]


[1] Muhammad Iqbal Bahua, Makna dan Arti Pendidikan dalam Teori Humanis, http://eeqbal.blogspot.com/2009/05/makna-dan-arti-pendidikan-dalam-teori_14.html
[2] Depdiknas, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, BP.Cipta Jaya, Jakarta,  2003, Cet.ke-2, hlm.163
[3] W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, Gramedia, Jakarta, 1987, Cet ke-6, hlm. 186.
[4] http:www. geocities. com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf
[5] Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Psikologi Pendidikan, Gramedia Widiasarana. Jakarta, 2002.
[6] Triweda Rahardjo, Efektifitas  Komunikasi Dalam Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Pada Smk Negeri  Di Kota Kediri, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah V Surabaya, KomMTi – Volume : 2, No. :  5 / September 2008
[8] Iwayan, Satya “Model-Model Pembelajaran Inovatif” Makalah Disajikan dalam pelatihan tentang Penelitian Tindakan Kelas bagi Guru-Guru SMP dan SMA di Nusa Penida,tanggal 29 Juni s.d 1 Juli 2007, Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Ganesha, 2007, hlm. 8
[9] Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran, http://smacepiring.wordpress.com, diunduh tanggal 25 Oktober 2010
[10] Hasil sarasehan dan seminar pendidikan islam terpadu (PIT ), Asrama Haji,  Yogyakarta,  Tgl 9-10 juni 2001
[11] Tobroni, “Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah”, http,//re-searhengines.com/ drtobroni 5-07.html., h 3.
[12] Sahaka, Model Pembelajaran Humanis, Sahaka@yahoo.com
[13] http://thantien.blog.friendster.com/tag/pendidikan-humanis/
[14] Daniel Goleman, Social Intelligence: Ilmu Baru Tentang Hubungan Antar Manusia’,  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm. 56
[15] Artikel secara lengkap mengenai ini dapat diakses pada http://www.pmptk.net/index.php?option=com_content&task=view&id=374&Itemid=310 dengan judul artikel ‘Ki Hajar Dewantara dan Konsepnya’ yang ditulis oleh Ketua Majelis Luhur Taman Siswa, Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd.
[16] Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi dalam Y Priyono Pasti, Kompas 2004
[17] Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi dalam Y Priyono Pasti, Kompas 2004
[18] Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi dalam Y Priyono Pasti, Kompas 2004