Minggu, 23 November 2014

PERKEMBANGAN MORAL ANAK

Perkembangan Moral Anak

a.       Pengertian Perkembangan Moral
Perkembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal berkembang sedangkan kata “berkembang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti mekar terbuka atau membentang menjadi besar, luas dan banyak serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan dan sebagainya.[1]
Adapun pengertian perkembangan telah banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya diantaranya adalah sebagai berikut :
1)      Menurut Negel (1957), perkembangan merupakan pengertian di mana terdapat struktur yang terorganisasikan dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu, oleh karena itu bilamana terjadi perubahan struktur baik dalam organisasi maupun dalam bentuk, akan mengakibatkan perubahan fungsi.
2)      Menurut Schneirla (1957), perkembangan adalah perubahan-perubahan progesif dalam organisasi organisme, dan organisme ini dilihat sebagai sistem fungsional dan adaptif sepanjang hidupnya. Perubahan-perubahan progesif ini meliputi dua faktor yakni kematangan dan pengalaman.
3)      Spiker (1966), mengemukakan dua macam pengertian yang harus dihubungkan dengan perkembangan, yakni:
a)      Ortogenetik, yang berhubungan dengan perkembangan sejak terbentuknya individu yang baru dan seterusnya sampai dewasa.
b)      Filogenetik, yakni perkembangan dari asal-usul manusia sampai sekarang ini. Perkembangan perubahan fungsi sepanjang masa hidupnya menyebabkan perubahan tingkah laku dan perubahan ini juga terjajdi sejak permulaan adanya manusia. Jadi perkembangan ortogenik mengarah ke suatu tujuan khusus sejalan dengan perkembangan evolusi yang mengarah kepada kesempurnaan manusia.
4)      Bijou dan Bear (1961) mengemukakan perkembangan psikologis adalah perubahan progesif yang menunjukkan cara organisme bertingkah lau dan berinteraksi dengan lingkungan. Interaksi yang dimaksud di sini adalah apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak, tergantung dari perangsang-perangsang yang ada di lingkungannya.  Rumusan lain tentang arti perkembangan dikemukakan oleh Libert, Paulus, dan Strauss, yaitu bahwa: “Perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungannya.” Istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai gejala-gejala psikologis yang menampak. Perkembangan dapat juga dilukiskan sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan proses pertumbuhan, kematangan, dan belajar.[2]
Perkembangan suatu proses kreatif. Karena perkembangan itu meliputi proses organisasi dan reorganisasi maka perkembangan merupakan proses yang kreatif dalam arti bahwa individu memilih aspek-aspek lingkungan, dan terhadap lingkungan itu ia harus memberikan respons.[3]
Jadi perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati. Atau dengan kata lain perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan baik mencakup fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).[4]
Yang dimaksud dengan sistematis, progresif dan berkesinambungan adalah sebagai berikut :
1)      Sistematis, berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling bergantung dan mempengaruhi antara satu bagian dan bagian lainnya baik fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Sebagai contoh, kemampuan jalan seseorang terjadi seiring dengan kesiapan otot-otot kaki. Contoh lain adalah kemampuan berbicara. Kemampuan ini sejalan dengan tingkat perkembangan intelektual atau kognitifnya.
2)      Progresif, berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebagai contoh, perubahan proporsi dan ukuran fisik seseorang dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar. Contoh lain adalah perubahan pengetahuan dan keterampilan seseorang dari sederhana sampai kepada yang rumit.
3)      Berkesinambungan, berarti perubahan pada bagian atau fungsi organisme seseorang berlangsung secara beraturan atau berurutan. Sebagai contoh, kemampuan berdiri didahului oleh tahapan perkembangan sebelumnya, yaitu kemampuan duduk dan merangkak.[5]
Sedangkan kata “moral” berasal dari  Bahasa  Latin mores yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.[6]  Moral secara umum merupakan ajaran baik buruk yang diterima masyarakat umum mengenai perbuatan.
Adapun arti tentang moral secara terminologi ada beberapa pendapat oleh para ahli antara lain:
1)      Zakiah Daradjat, moral adalah “kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut”.[7]
2)      Nurdin dkk, moral merupakan penjabaran dari nilai yang bersumber dari wahyu Ilahi dan budaya.[8]
3)      Helden (1977) dan Richards (1971) merumuskan pengertian moral sebagai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan  tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan.
4)      Atkinson (1969) mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan oleh manusia.[9]
Jadi moral itu merupakan aplikasi perbuatan yang berdasarkan pada ajaran Agama (Islam) dan dari unsur budaya yang diakui sebagai kebenaran dalam masyarakat yang dilakukan dengan penuh kesadaran pribadi yang bersangkutan secara kontinu.
Dengan demikian pengertian perkembangan moral anak yaitu terkait dengan perkembangan cara berpikir (kognitif) anak. Artinya, semakin tinggi tingkat perkembangan berpikir anak, semakin besar pula potensi anak mencapai tingkat perkembangan moral yang lebih baik. Meskipun demikian, belum tentu anak yang mempunyai kecerdasan tinggi akan dengan sendirinya memiliki tingkat perkembangan moral yang baik pula.
b.      Tingkat dan Tahapan Perkembangan Moral
Ketika individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan sosial tempat ia berada, bersamaan itu pula, individu mulai menyadari bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan, norma-norma/nilai-nilai yang dianutnya itu disebut moralitas.
Moralitas adalah satu set prinsip-prinsip atau idealisme-idealisme yang dapat membantu seseorang untuk 1) membedakan benar dan salah; 2) bertingkah laku berdasarkan prinsip tersebut; 3) merasa bangga apabila bisa bertingkah laku sesuai dengan standar dan merasa malu atau merasa bersalah apabila tidak berhasil.
Tiga komponen dari moralitas adalah :
1)      Komponen Afektif: komponen yang berisi perasaan-perasaan seputar tingkah laku yang berdasarkan pada standar moralitas.
2)      Komponen Kognitif: bagaimana mengkonseptualisasikan benar dan salah dan memutuskan bagaimana bertingkah laku.
3)      Komponen Behavioral: merefleksikan bagaimana kita bertingkah laku ketika menghadapi godaan untuk berbohong, curang, atau untuk melanggar standar moral kita
Menurut Peaget dalam bukunya The Moral Judgment of the Child, menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Pieget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut: pertama, kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Pieget mengamati anak-anak bermain kelereng, suatu permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak di seluruh dunia, atau permainan itu jarang diajarkan secara “formal” oleh orang dewasa; dengan demikian permainan itu mempunyai peraturan yang jarang dicampurtangankan oleh orang dewasa. Sesuai dengan perkembangan umur, orientasi terhadap peraturan itu berkembang dari sikap heteronom (bahwa peraturan berasal dari luar diri seseorang) ke sikap yang semakin otonom (bahwa peraturan ditentukan juga oleh subjek yang bersangkutan). Padatahap heteronom anak-anak beranggapan bahwa peraturan berasal dari diri mereka, bersifat suci, harus dihormati, dan tidak boleh diubah oleh para pemain. Pada tahap otonom anak-anak beranggapan bahwa peraturan-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para pemain.
Tahap pertama, anak-anak yang paling muda, sampai umur 2 tahun, bermain asal bermain, tanpa aturan permainan, mereka adalah motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran. Dengan dengan demikian dalam hal kesadaran akan peraturan, anak sampai usia dua tahun belum menyadari adanya peraturan yang koersif, artinya bersifat memaksa dan harus ditaati. Dalam pelaksanaan peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu berupa motor activity.
Tahap kedua, pada umur antara 2 tahun sampai 6 tahun, anak-anak memperhatikan cara bermain dari anak-anak yang lebih besar dan mulai menirukan mereka. Sudah tumbuh kesadaran bahwa dalam permainan itu ada peraturan dan peraturan itu suci, diturunkan dari surge sana, maka tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun. Barangsiapa berani mengubah, ia bersalah besar. Dalam melakukan permainan ituanak dalam tahap ini bersifat egosentris: dia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi tujuannya sendiri, tidak tahu bahwa permainan itu merupakan aktivitas besama anak-anak lain. Jadi, walaupun mereka bermain beramai-ramai (lebih dari satu orang) tetapi sebenarnya mereka bermain sendiri-sendiri. Pelaksanaan yang bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari tahap yang indivudalistis murni ke tahap permainan yang bersifat social.
Tahap ketiga, pada umur 7 sampai 10 tahun, anak-anak beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada kesenangan yang didapatkan dan persaingan dengan kawan bermain dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlakudan disetujui bersama. Walaupun sebenarnya tidak paham akan peraturan sampai hal yang sekecil-kecilnya, namun keinginan untukbekerja sama dengan kawan bermain dengan setia mengikuti peraturan itu. Tampak bahwa dalam tahap ini sikap heteronom mulai berkurang  dan sikap otonom mulai tumbuh.
Antara umur 11 sampai 12 tahun kemampuan anak untuk berpikir abstrak mulai berkembang. Pada umur-umur itu kodifikasi (penentuan) peraturan sudah dianggap perlu. Kadang-kadang mereka labih asyik tertarik pada soal-soal peraturan dari pada menjalankan permainannya sendiri.
Bagi anak-anak semua peraturan adalah sama, amka proses perkembangan rasa hormat pada peraturan moral sama juga dengan proses perkembangan rasa hormat pada peraturan bermain kelereng. Anak berkembang dari kesadaran bahwa peraturan moral adalah suci dan tidak boleh diganggu gugat. Pelaksanaannya juga bersifat egosentris sekedar meniru apa yang dilhatnya saja. Pada tahap heteronom ini apa yang diperintahkan oleh orang dewasa adalah baik, hanya karena yang memerintahkan adalah orang dewasa, yang dianggap lebih tahu, lebih kuat dan kuasa. Sedangkan apa yang dilarang oleh orang dewasa adalah buruk. Perkembangan mengarah kepada sikap yang semakin otonom. Pada tahap otonom peraturan-peraturan yang disetujui bersama merupakan kesepakatan bersama hal mana kita lihat mulai mewarnai keadaan pada anak-anak yang mulai menginjak usia remaja.[10]
Kohlberg mengemukakan tahapan perkembangan moralitas individu, sebagaimana tampak dalam tabel berikut:[11]
No
Tingkat
Tahap
1.
Pre Conventional (0-9)
Orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman
Relativistik hedonism
2.
Conventional (9-15)
Orientasi mengenai anak yang baik
Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas
3.
Post Conventional (>15)
Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial
Prinsip etis universal
Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan enam tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu tingkat:[12]
1)      Prakonvensional
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka)  kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah.  Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya.
2)      Konvensioal
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri.  Anak tidak hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban social.
3)      Post-konvensional
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana.
Masing-masing tingkat dari dua tahap, sehingga keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang mencapai tahap terakhir perkembangan moral.
Dalam stadium nol, anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Sesudah stadium ini datanglah:
1)      Tingkat I; Prakonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada stadium I, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui  bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi, ada relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
2)      Tingkat II; Konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, di mana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan seseorang baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut memperhatikan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacuan.
3)      Tingkat III; Pasca-Konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun di sini kata hati sudah mulai berbicara, namun penilaian-penilaiannya masih timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang seringkali tampak dalam sikap yang kaku.
Stadium 6, tahap ini disebut Prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik di samping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang kemudian oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvesional harus dicapai selama masa remaja.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan dalil berikut :
1)      Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
2)      Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
3)      Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertarik pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri.  Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3.  Berdasarkan inilah kohlberg percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.
4)      Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik.  Sesorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya.  Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.
c.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Sama seperti perkembangan lainnya, maka perkembangan moral juga dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Bagi para ahli psikoanalisis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khsusnya dari orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan seperego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya.
Di dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting. Di antara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yng berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus di mana faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi nalar sebagaimana dikemukakan oleh Pieget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Pieget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.[13]
Kohlberg menyatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan moral anak, yaitu :
1)      Interaksi dengan teman sebaya.
Kohlberg sepakat dengan Piaget bahwa interaksi dengan teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar pada perkembangan moral anak daripada pemaksaan aturan oleh orangtua. Interaksi ini dapat berupa proses modeling atau transactive interaction. Transactive interaction adalah pertukaran reasoning mengenai moralitas. Asimilasi dan akomodasi dapat menjadi hasil dari  transactive interaction.
Sedangkan pemberian nilai-nilai oleh orangtua akan dipandang sebagai hal yang tidak menyenangkan dan akan menimbulkan penolakan pada anak ataupun remaja.
2)      Pendidikan lanjutan.
Individu yang mengikuti pendidikan tinggi biasanya memiliki reasoning mengenai moralitas yang lebih kompleks dibandingkan dengan individu yang pendidikannya lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena:
a)      pendidikan mengakomodasi perkembangan kognitif,
b)      memberikan kesempatan untuk melihat perpektif yang berbeda-beda dan konflik moralitas.
3)      Pengaruh budaya
Misalnya, lingkungan yang demokratis, yang memberikan kesempatan untuk berdiskusi memberikan kesempatan untuk moral berkembang.
d.      Pendidikan Moral
Pendidikan moral dapat dirumuskan sebagai: suatu proses yang disengaja di mana para warga muda dari masyarakat dibantu supaya berkembang dari orientasi yang bersifat pada diri sendiri mengenai hak-hak dan kewajiban mereka, kea rah pandangan yang lebih luas, yaitu bahwa dirinya berada dalam masyarakat dan ke arah pandangan yang lebih mendalam mengenai diri sendiri.[14]
Dalam pendidikan moral, guru diharapkan membantu anak didik untuk berkembang. Jadi yang diharapkan bukannya supaya guru dapat menanamkan nilai-nilai moral secara indoktrinatif kepada para siswa. Pendidikan moral tidak berarti membeberkan tetapi para siswa dengan sendirinya berlaku sesuai dengan nilai-nilai itu. Dari pengalaman dapat dilihat bahwa bentuk pendidikan moral yang berisi nasihat-nasihat dan petuah-petuah hanya mendatangkan kebosanan pada PMP. Satu tren dalam pendidikan moral adalah menghindarkan pemaksaan nilai-nilai pada siswa, sebaliknya usahakan itu dibimbing melalui suatu proses ke arah nilai-nilai dan hendaknya mereka disadarkan adanya bermacam-macam ide dan argumentasi dalam bidang nilai sebagai rangsangan untuk berpikir.[15]
Pendidikan moral pancasila sebagai salah satu komponen kurikulum yang berorientasi pada tujuan pendidikan, bersama komponen yang lain harus dapat mencapai tujuan pendidikan nasional seperti dirumuskan oleh GBHN 1978; meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kecerdasan dan ketterampilan dan mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan. Tujuan akhirnya adalah agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan.[16]
Pendidikan moral ini telah dicontohkan Lukman dalam mendidik anaknya sebagai mana terdapat dalam Al-Qur’an yaitu Surat Lukman ayat 13 sampai dengan 19 yang isinya: perintah untuk bersyukur kepada kedua orang tua menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkran, bersabar, larangan terhadap perbuatan sombong dan angkuh.[17]
Demikianlah pentingnya akhlak, atau moral sehingga Allah mengutus Rasul SAW. Guna untuk menyempurnakan akhlak manusia. Maka anak harus diberikan pendidikan akhlak atau moral Islam sejak dini (dalam keluarga, sekolah, masyarakat) moralitas merupakan faktor terpenting dalam masyarakat dan dalam kesempurnaan bangsa. Tidak seorangpun menyangkal peranan vital yang dimainkan oleh akhlak dalam membawa kedamaian kebahagiaan dan kesejahteraan rohani manusia, juga bermanfaat memperkuat tingkah laku dan pemikiran, baik pada pergaulan maupun masyarakat.[18]


[1] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 473.
[2] Sunarto, Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 38-39.
[3] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo Offset, Bandung, 2007, hlm. 84.
[4] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2012, hlm. 15.
[5] Mahmud, Psikologi Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 345.
[6] Elizabeth B. Hurlock, t.th, Pekembangan Anak, Erlangga, Jakarta, 1999, edisi VI, hlm. 74.
[7] Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Gunung Agung cet II, Jakarta, 1970, hlm. 64.
[8] Muslim Nurdin,et.al, Moral dan Kognisi Islam, AL FABETA, edisi I, Bandung, 1993, hlm. 209.
[9] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak;Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm. 28.
[10] Burhanuddin,Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 67-70
[11] Mahmud, Op.Cit., hlm. 358-359.
[12] Sunarto, Agung Hartono, Op.Cit., hlm. 172-174.
[13] Sunarto, Agung Hartono, Op.Cit., hlm. 174-176.
[14] Burhanuddin Salam, Op.Cit., hlm. 76-77
[15] Ibid, hlm. 77
[16] Ibid, hlm. 80
[17] Depag RI, Op. Cit., hlm. 250.
[18] Sayyid Mujtaba Musafi Lari, Psikologi Islam Membangun Kembali Moral Generasi Muda, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1990, hlm. 45-47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar