Perkembangan
Moral Anak
a.
Pengertian Perkembangan Moral
Perkembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah perihal berkembang sedangkan kata “berkembang” menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti mekar terbuka atau membentang menjadi besar,
luas dan banyak serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian,
pikiran, pengetahuan dan sebagainya.[1]
Adapun pengertian perkembangan telah banyak para ahli
yang mengemukakan pendapatnya diantaranya adalah sebagai berikut :
1)
Menurut Negel (1957), perkembangan
merupakan pengertian di mana terdapat struktur yang terorganisasikan dan
mempunyai fungsi-fungsi tertentu, oleh karena itu bilamana terjadi perubahan
struktur baik dalam organisasi maupun dalam bentuk, akan mengakibatkan
perubahan fungsi.
2)
Menurut Schneirla (1957),
perkembangan adalah perubahan-perubahan progesif dalam organisasi organisme,
dan organisme ini dilihat sebagai sistem fungsional dan adaptif sepanjang
hidupnya. Perubahan-perubahan progesif ini meliputi dua faktor yakni kematangan
dan pengalaman.
3)
Spiker (1966), mengemukakan dua
macam pengertian yang harus dihubungkan dengan perkembangan, yakni:
a)
Ortogenetik, yang
berhubungan dengan perkembangan sejak terbentuknya individu yang baru dan
seterusnya sampai dewasa.
b)
Filogenetik, yakni
perkembangan dari asal-usul manusia sampai sekarang ini. Perkembangan perubahan
fungsi sepanjang masa hidupnya menyebabkan perubahan tingkah laku dan perubahan
ini juga terjajdi sejak permulaan adanya manusia. Jadi perkembangan ortogenik
mengarah ke suatu tujuan khusus sejalan dengan perkembangan evolusi yang
mengarah kepada kesempurnaan manusia.
4)
Bijou dan Bear (1961) mengemukakan
perkembangan psikologis adalah perubahan progesif yang menunjukkan cara
organisme bertingkah lau dan berinteraksi dengan lingkungan. Interaksi yang
dimaksud di sini adalah apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan
atau tidak, tergantung dari perangsang-perangsang yang ada di
lingkungannya. Rumusan lain tentang arti
perkembangan dikemukakan oleh Libert, Paulus, dan Strauss, yaitu bahwa:
“Perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu
sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungannya.” Istilah
perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai
gejala-gejala psikologis yang menampak. Perkembangan dapat juga dilukiskan
sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi
pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan proses pertumbuhan,
kematangan, dan belajar.[2]
Perkembangan suatu proses kreatif. Karena perkembangan itu
meliputi proses organisasi dan reorganisasi maka perkembangan merupakan proses
yang kreatif dalam arti bahwa individu memilih aspek-aspek lingkungan, dan
terhadap lingkungan itu ia harus memberikan respons.[3]
Jadi perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang
progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir
sampai mati. Atau dengan kata lain perkembangan adalah perubahan-perubahan yang
dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya
(maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan
berkesinambungan baik mencakup fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).[4]
Yang dimaksud dengan sistematis, progresif dan
berkesinambungan adalah sebagai berikut :
1)
Sistematis, berarti perubahan
dalam perkembangan itu bersifat saling bergantung dan mempengaruhi antara satu
bagian dan bagian lainnya baik fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan
yang harmonis. Sebagai contoh, kemampuan jalan seseorang terjadi seiring dengan
kesiapan otot-otot kaki. Contoh lain adalah kemampuan berbicara. Kemampuan ini
sejalan dengan tingkat perkembangan intelektual atau kognitifnya.
2)
Progresif, berarti perubahan yang
terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Sebagai contoh, perubahan proporsi dan ukuran fisik seseorang dari
pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar. Contoh lain adalah
perubahan pengetahuan dan keterampilan seseorang dari sederhana sampai kepada
yang rumit.
3)
Berkesinambungan, berarti
perubahan pada bagian atau fungsi organisme seseorang berlangsung secara
beraturan atau berurutan. Sebagai contoh, kemampuan berdiri didahului oleh
tahapan perkembangan sebelumnya, yaitu kemampuan duduk dan merangkak.[5]
Sedangkan kata “moral” berasal dari
Bahasa Latin mores yang
berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.[6] Moral secara umum merupakan ajaran baik buruk
yang diterima masyarakat umum mengenai perbuatan.
Adapun arti tentang moral secara terminologi ada
beberapa pendapat oleh para ahli antara lain:
1) Zakiah
Daradjat, moral adalah “kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai)
masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai
pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut”.[7]
3) Helden
(1977) dan Richards (1971) merumuskan pengertian moral sebagai suatu kepekaan
dalam pikiran, perasaan, dan tindakan
dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip
dan aturan.
4) Atkinson
(1969) mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan
buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu,
moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan
oleh manusia.[9]
Jadi moral
itu merupakan aplikasi perbuatan yang berdasarkan pada ajaran Agama (Islam) dan
dari unsur budaya yang diakui sebagai kebenaran dalam masyarakat yang dilakukan
dengan penuh kesadaran pribadi yang bersangkutan secara kontinu.
Dengan demikian pengertian perkembangan moral anak yaitu terkait
dengan perkembangan cara berpikir (kognitif) anak. Artinya, semakin tinggi
tingkat perkembangan berpikir anak, semakin besar pula potensi anak mencapai
tingkat perkembangan moral yang lebih baik. Meskipun demikian, belum tentu anak
yang mempunyai kecerdasan tinggi akan dengan sendirinya memiliki tingkat
perkembangan moral yang baik pula.
b.
Tingkat dan Tahapan Perkembangan
Moral
Ketika individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian
dari lingkungan sosial tempat ia berada, bersamaan itu pula, individu mulai
menyadari bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan,
norma-norma/nilai-nilai yang dianutnya itu disebut moralitas.
Moralitas adalah satu set prinsip-prinsip atau
idealisme-idealisme yang dapat membantu seseorang untuk 1) membedakan benar dan
salah; 2) bertingkah laku berdasarkan prinsip tersebut; 3) merasa bangga
apabila bisa bertingkah laku sesuai dengan standar dan merasa malu atau merasa
bersalah apabila tidak berhasil.
Tiga komponen dari moralitas adalah :
1) Komponen Afektif: komponen yang berisi perasaan-perasaan seputar
tingkah laku yang berdasarkan pada standar moralitas.
2) Komponen Kognitif: bagaimana mengkonseptualisasikan benar dan
salah dan memutuskan bagaimana bertingkah laku.
3) Komponen Behavioral: merefleksikan bagaimana kita bertingkah
laku ketika menghadapi godaan untuk berbohong, curang, atau untuk melanggar
standar moral kita
Menurut Peaget dalam bukunya The Moral Judgment of the
Child, menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari
satu tahap ke tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi
pengamatan Pieget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada
peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut: pertama, kesadaran
akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua, pelaksanaan
dari peraturan itu. Pieget mengamati anak-anak bermain kelereng, suatu
permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak di seluruh dunia, atau permainan
itu jarang diajarkan secara “formal” oleh orang dewasa; dengan demikian
permainan itu mempunyai peraturan yang jarang dicampurtangankan oleh orang
dewasa. Sesuai dengan perkembangan umur, orientasi terhadap peraturan itu
berkembang dari sikap heteronom (bahwa peraturan berasal dari luar diri
seseorang) ke sikap yang semakin otonom (bahwa peraturan ditentukan juga
oleh subjek yang bersangkutan). Padatahap heteronom anak-anak beranggapan bahwa
peraturan berasal dari diri mereka, bersifat suci, harus dihormati, dan tidak
boleh diubah oleh para pemain. Pada tahap otonom anak-anak beranggapan bahwa
peraturan-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para pemain.
Tahap pertama, anak-anak yang
paling muda, sampai umur 2 tahun, bermain asal bermain, tanpa aturan permainan,
mereka adalah motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran. Dengan dengan
demikian dalam hal kesadaran akan peraturan, anak sampai usia dua tahun belum
menyadari adanya peraturan yang koersif, artinya bersifat memaksa dan harus
ditaati. Dalam pelaksanaan peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu berupa motor
activity.
Tahap kedua, pada umur antara 2
tahun sampai 6 tahun, anak-anak memperhatikan cara bermain dari anak-anak yang
lebih besar dan mulai menirukan mereka. Sudah tumbuh kesadaran bahwa dalam
permainan itu ada peraturan dan peraturan itu suci, diturunkan dari
surge sana, maka tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun. Barangsiapa berani
mengubah, ia bersalah besar. Dalam melakukan permainan ituanak dalam tahap ini
bersifat egosentris: dia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi
tujuannya sendiri, tidak tahu bahwa permainan itu merupakan aktivitas
besama anak-anak lain. Jadi, walaupun mereka bermain beramai-ramai (lebih dari
satu orang) tetapi sebenarnya mereka bermain sendiri-sendiri. Pelaksanaan yang
bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari tahap yang indivudalistis
murni ke tahap permainan yang bersifat social.
Tahap ketiga, pada umur 7 sampai
10 tahun, anak-anak beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada
kesenangan yang didapatkan dan persaingan dengan kawan bermain dengan mengikuti
peraturan-peraturan yang berlakudan disetujui bersama. Walaupun sebenarnya
tidak paham akan peraturan sampai hal yang sekecil-kecilnya, namun keinginan
untukbekerja sama dengan kawan bermain dengan setia mengikuti peraturan
itu. Tampak bahwa dalam tahap ini sikap heteronom mulai berkurang dan sikap otonom mulai tumbuh.
Antara umur 11 sampai 12 tahun kemampuan anak untuk
berpikir abstrak mulai berkembang. Pada umur-umur itu kodifikasi
(penentuan) peraturan sudah dianggap perlu. Kadang-kadang mereka labih asyik
tertarik pada soal-soal peraturan dari pada menjalankan permainannya sendiri.
Bagi anak-anak semua peraturan adalah sama, amka
proses perkembangan rasa hormat pada peraturan moral sama juga dengan proses
perkembangan rasa hormat pada peraturan bermain kelereng. Anak berkembang dari
kesadaran bahwa peraturan moral adalah suci dan tidak boleh diganggu gugat.
Pelaksanaannya juga bersifat egosentris sekedar meniru apa yang dilhatnya saja.
Pada tahap heteronom ini apa yang diperintahkan oleh orang dewasa adalah
baik, hanya karena yang memerintahkan adalah orang dewasa, yang dianggap lebih
tahu, lebih kuat dan kuasa. Sedangkan apa yang dilarang oleh orang dewasa
adalah buruk. Perkembangan mengarah kepada sikap yang semakin otonom. Pada tahap
otonom peraturan-peraturan yang disetujui bersama merupakan kesepakatan
bersama hal mana kita lihat mulai mewarnai keadaan pada anak-anak yang mulai
menginjak usia remaja.[10]
Kohlberg mengemukakan tahapan perkembangan moralitas
individu, sebagaimana tampak dalam tabel berikut:[11]
No
|
Tingkat
|
Tahap
|
1.
|
Pre
Conventional (0-9)
|
Orientasi terhadap kepatuhan dan
hukuman
|
Relativistik hedonism
|
||
2.
|
Conventional
(9-15)
|
Orientasi mengenai anak yang baik
|
Mempertahankan norma-norma sosial
dan otoritas
|
||
3.
|
Post
Conventional (>15)
|
Orientasi terhadap perjanjian
antara dirinya dengan lingkungan sosial
|
Prinsip etis universal
|
Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg
mengemukakan enam tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara
universal dan dalam urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral
menurut Kohlberg, yaitu tingkat:[12]
1)
Prakonvensional
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif
terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara
fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak,
suka dan tidak suka) kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah.
Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal
peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya.
2)
Konvensioal
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya
harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri. Anak
tidak hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara
aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang
ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan
ketertiban social.
3)
Post-konvensional
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan
perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah
(valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang
atau kelompok yang mana.
Masing-masing tingkat dari dua tahap, sehingga keseluruhan
ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang
tetap. Tidak setiap orang mencapai tahap terakhir perkembangan moral.
Dalam stadium nol, anak menganggap baik apa yang
sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Sesudah stadium ini datanglah:
1)
Tingkat I; Prakonvensional, yang
terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada stadium I, anak berorientasi kepada
kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang
ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui
bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu
gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism.
Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada
di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa
setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi, ada relativisme.
Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik).
Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk
memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri itu sendiri diketahui sebagai
perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
2)
Tingkat II; Konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak
yang baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, di mana
anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau
tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah
perbuatan seseorang baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat
penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan
norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang
diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan
masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut memperhatikan aturan-aturan
atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut
melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacuan.
3)
Tingkat III; Pasca-Konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap
perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada
hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan
masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan
tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau
masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini.
Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih
tinggi. Meskipun di sini kata hati sudah mulai berbicara, namun
penilaian-penilaiannya masih timbul dari kata hati yang sudah betul-betul
diinternalisasi, yang seringkali tampak dalam sikap yang kaku.
Stadium 6, tahap ini disebut Prinsip
universal. Pada tahap ini ada norma etik di samping norma pribadi dan
subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakatnya
ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau
tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seorang
dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh
dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian moral
yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang kemudian oleh
tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvesional
harus dicapai selama masa remaja.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam
tahapannya seperti itu berlakulan dalil berikut :
1)
Perkembangan moral terjadi secara
berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
2)
Dalam perkembangan moral orang
tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
3)
Dalam perkembangan moral,
seseorang secara kognitif tertarik pada cara berfikir dari satu tahap diatas
tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap
3. Berdasarkan inilah kohlberg percaya bahwa moral reasoning dapat
dan mungkin diperkembangkan.
4)
Dalam perkembangan moral,
perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium
kognitif pada diri si anak didik. Sesorang yang sudah mapan dalam satu
tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk
memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram
dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.
c.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Moral
Sama seperti perkembangan lainnya, maka perkembangan
moral juga dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan
internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang
dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun,
gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang
simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang
diciptakan sendiri.
Bagi para ahli psikoanalisis perkembangan moral
dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang
sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisis moral dan
nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi
larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khsusnya dari
orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri.
Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang
tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan seperego yang
cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma
masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan
bahwa hubungan anak-orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para
sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam
pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol
dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat
pelanggar-pelanggarnya.
Di dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai
pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan
memegang peranan penting. Di antara segala unsur lingkungan sosial yang
berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk
manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan
dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang
terutama terdiri dari mereka yng berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin
jelas sikap dan sifat terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula
pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh
Kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran
yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai
kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan
melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus di
mana faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut
berperan. Dalam perkembangan moral Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang
berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan
mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang
mendasarinya. Moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya
dipengaruhi nalar sebagaimana dikemukakan oleh Pieget. Makin tinggi tingkat
penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Pieget, makin tinggi pula
tingkat moral seseorang.[13]
Kohlberg menyatakan ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap perkembangan moral anak, yaitu :
1) Interaksi dengan teman sebaya.
Kohlberg sepakat dengan Piaget bahwa
interaksi dengan teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar pada
perkembangan moral anak daripada pemaksaan aturan oleh orangtua. Interaksi ini
dapat berupa proses modeling atau transactive interaction. Transactive interaction adalah pertukaran reasoning
mengenai moralitas. Asimilasi dan akomodasi dapat menjadi hasil dari transactive
interaction.
Sedangkan pemberian nilai-nilai oleh
orangtua akan dipandang sebagai hal yang tidak menyenangkan dan akan
menimbulkan penolakan pada anak ataupun remaja.
2) Pendidikan lanjutan.
Individu yang mengikuti pendidikan tinggi
biasanya memiliki reasoning mengenai
moralitas yang lebih kompleks dibandingkan dengan individu yang pendidikannya
lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena:
a)
pendidikan mengakomodasi
perkembangan kognitif,
b)
memberikan kesempatan untuk
melihat perpektif yang berbeda-beda dan konflik moralitas.
3) Pengaruh budaya
Misalnya, lingkungan yang demokratis, yang
memberikan kesempatan untuk berdiskusi memberikan kesempatan untuk moral
berkembang.
d.
Pendidikan Moral
Pendidikan moral dapat dirumuskan sebagai: suatu
proses yang disengaja di mana para warga muda dari masyarakat dibantu supaya
berkembang dari orientasi yang bersifat pada diri sendiri mengenai hak-hak dan
kewajiban mereka, kea rah pandangan yang lebih luas, yaitu bahwa dirinya berada
dalam masyarakat dan ke arah pandangan yang lebih mendalam mengenai diri
sendiri.[14]
Dalam pendidikan moral, guru diharapkan membantu anak
didik untuk berkembang. Jadi yang diharapkan bukannya supaya guru dapat
menanamkan nilai-nilai moral secara indoktrinatif kepada para siswa.
Pendidikan moral tidak berarti membeberkan tetapi para siswa dengan sendirinya
berlaku sesuai dengan nilai-nilai itu. Dari pengalaman dapat dilihat bahwa
bentuk pendidikan moral yang berisi nasihat-nasihat dan petuah-petuah hanya mendatangkan
kebosanan pada PMP. Satu tren dalam pendidikan moral adalah menghindarkan
pemaksaan nilai-nilai pada siswa, sebaliknya usahakan itu dibimbing melalui
suatu proses ke arah nilai-nilai dan hendaknya mereka disadarkan adanya
bermacam-macam ide dan argumentasi dalam bidang nilai sebagai rangsangan untuk
berpikir.[15]
Pendidikan moral pancasila sebagai salah satu
komponen kurikulum yang berorientasi pada tujuan pendidikan, bersama komponen
yang lain harus dapat mencapai tujuan pendidikan nasional seperti dirumuskan
oleh GBHN 1978; meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
meningkatkan kecerdasan dan ketterampilan dan mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan. Tujuan akhirnya adalah agar
dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan.[16]
Pendidikan moral ini telah dicontohkan Lukman dalam
mendidik anaknya sebagai mana terdapat dalam Al-Qur’an yaitu Surat Lukman ayat 13
sampai dengan 19 yang isinya: perintah untuk bersyukur kepada kedua orang tua
menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkran, bersabar, larangan terhadap
perbuatan sombong dan angkuh.[17]
Demikianlah pentingnya akhlak, atau moral sehingga
Allah mengutus Rasul SAW. Guna untuk menyempurnakan akhlak manusia. Maka anak
harus diberikan pendidikan akhlak atau moral Islam sejak dini (dalam keluarga,
sekolah, masyarakat) moralitas merupakan faktor terpenting dalam masyarakat dan
dalam kesempurnaan bangsa. Tidak seorangpun menyangkal peranan vital yang
dimainkan oleh akhlak dalam membawa kedamaian kebahagiaan dan kesejahteraan
rohani manusia, juga bermanfaat memperkuat tingkah laku dan pemikiran, baik
pada pergaulan maupun masyarakat.[18]
[1] Depdikbud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 473.
[2] Sunarto,
Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 1999,
hlm. 38-39.
[3] Oemar
Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo Offset,
Bandung, 2007, hlm. 84.
[4] Syamsu
Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosda Karya,
Bandung, 2012, hlm. 15.
[5] Mahmud, Psikologi
Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 345.
[6] Elizabeth B. Hurlock, t.th, Pekembangan
Anak, Erlangga, Jakarta, 1999, edisi VI, hlm. 74.
[7] Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam
Kesehatan Mental, Gunung Agung cet II, Jakarta, 1970, hlm. 64.
[8] Muslim Nurdin,et.al, Moral dan Kognisi
Islam, AL FABETA, edisi I, Bandung, 1993, hlm. 209.
[9]
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak;Peran Moral, Intelektual, Emosional,
dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Bumi Aksara,
Jakarta, 2009, hlm. 28.
[10]
Burhanuddin,Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka
Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 67-70
[11] Mahmud,
Op.Cit., hlm. 358-359.
[12]
Sunarto, Agung Hartono, Op.Cit., hlm. 172-174.
[13]
Sunarto, Agung Hartono, Op.Cit., hlm. 174-176.
[14]
Burhanuddin Salam, Op.Cit., hlm. 76-77
[15] Ibid,
hlm. 77
[16] Ibid,
hlm. 80
[17] Depag
RI, Op. Cit., hlm. 250.
[18] Sayyid
Mujtaba Musafi Lari, Psikologi Islam Membangun Kembali Moral Generasi Muda,
Pustaka Hidayah, Jakarta, 1990, hlm. 45-47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar