IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN TARHIB DAN TARGHIB
DI MADRASAH
A.   
Pendahuluan
Peringatan dan perbaikan terhadap anak bukanlah tindakan balas dendam
yang didasari amarah, melainkan suatu metode pendidikan yang didasari atas rasa
cinta dan kasih sayang. Ibnu Jazzar al-Qairawani menjelaskan tentang perbaikan
anak sejak dini, “Sesungguhnya masa kanak-kanak adalah masa terbaik bagi
pendidikan. Apabila kita dapati sebagian anak mudah dibina dan sebagian lain
sulit dibina, sebagian giat belajar dan sebagian lain sangat malas belajar,
sebagian mereka belajar untuk maju dan sebagian lain belajar hanya untuk
terhindar dari hukuman.”
Sebenarnya sifat-sifat buruk yang timbul dalam diri anak di atas
bukanlah lahir dan fitrah mereka. Sifat-sifat tersebut terutama timbul karena
kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan para pendidik. Semakin dewasa
usia anak, semakin sulit pula baginya untuk meninggalkan sifat-sifat buruk.
Banyak sekali orang dewasa yang menyadari keburukan sifat-sifatnya, tapi tidak
mampu mengubahnya. Karena sifat-sifat buruk itu sudah menjadi kebiasaan yang
sulit untuk ditinggalkan. Maka berbahagialah para orangtua yang selalu
memperingati dan mencegah anaknya dari sifat-sifat buruk sejak dini, karena
dengan demikian, mereka telah menyiapkan dasar yang kuat bagi kehidupan anak di
masa mendatang.”
Merupakan kesalahan besar apabila menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil
yang dilakukan anak, karena kebakaran yang besar terjadi sekalipun berawal dari
api yang kecil. Maka bila orangtua mendapati anaknya melakukan kesalahan,
seperti berkata kasar misalnya, hendaknya langsung memperingatinya.
Setelah mengetahui arti penting peringatan dan perbaikan bagi anak, maka
para orangtua dan pendidik harus mengerti metode yang diajarkan Rasulullah SAW
dalam peringatan dan perbaikan anak. Dalam dunia pendidikan, metode ini disebut
dengan metode penghargaan (tarhib) dan sanksi (targhib). Dengan metode tersebut
diharapkan agar anak didik dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan positif
dan progresif.
B.    
Permasalahan
Dalam topik ini akan dibahas tentang pengertian metode sanksi (targhib)
dan penghargaan (tarhib), pendapat beberapa pakar pendidikan tentang
pelaksanaannya serta penerapannya dalam pendidikan. 
C.   
Pembahasan
1.     
Konsep Pemberian Penghargaan dan
Sanksi
Salah satu teknik atau metode pendidikan Islam adalah pendidikan dengan
pemberian penghargaan dan sanksi. Penghargaan atau hadiah dalam pendidikan anak
akan memberikan motivasi untuk terus meningkatkan atau paling tidak
mempertahankan prestasi yang telah didapatnya, di lain pihak temannya yang
melihat akan ikut termotivasi untuk memperoleh hal yang sama. Sedangkan sanksi
atau hukuman sangat berperan penting dalam pendidikan anak sebab pendidikan
yang terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan
hati.
Sudah menjadi tabiat manusia memiliki kencendrungan kepada kebaikan dan
keburukan. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan manusia
dalam berbagai jalan kebaikan dan jalur keimanan. Demikian pula pendidikan
Islam berupaya menjauhkan manusia dari keburukan dengan segala jenisnya. Jadi
tabiat ini merupakan kombinasi antara kebaikan dan keburukan, maka tabiat baik
perlu diarahkan dengan memberikan imbalan, penguatan dan dorongan, sedangkan
tabiat buruk perlu dipagari dan dicegah. Cara pengarahan ini dikenal dalam
al-Qur’an dengan metode targhib dan tarhib.
Targhib  dan tarhib merupakan
salah satu teknik pendidikan yang bertumpu pada fitrah manusia dan keiginannya
pada imbalan, kenikmatan dan kesenangan. Metode ini pun bertumpu pada rasa
takut mausia terhadap hukuman, kesulitan dan akibat buruk. Tekhnik imbalan
(targhib( diisyaratkan Allah dalam Surat Ali Imran ayat 133 : ”Dan bersegeralah
kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
 Adapun tekhnik sanksi (tarhib)
diungkapkan dalam Firman Allah Swt salah satunya pada surat at-Tahrim ayat 6 sebagai berikut: …
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...”
 
2.     
Pandangan Pakar Pendidikan Muslim
Tentang Penghargaan dan Sanksi
a.      
Pandangan al-Ghazali
 Menurut al-Ghazali hendaknya para
guru memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru di tuntut
berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak
didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil
usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama didepan
teman-temannya. Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan
menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak
menylahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan
kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya
semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah
dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Beliau juga mengingatkan
bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit
kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan
hal tersebut beliau menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat
karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau
orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”
 
b.     
Pandangan Ibnu Khaldun
   Ibn Khaldun mengemukakan
masalah imbalan dan sanksi di dalam bukunya al-Muqaddimah, beliau tidak
menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal
manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan
pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam
memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran
merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap
anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong
serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus
memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam
waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
 
c.      
Pandangan Ibnu Jama’ah
Pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap pendidikan
anak dari pada pemberian sanksi. Sanjungan dan pujian guru dapat mendorong
siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih baik. Ibnu Jama’ah
lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan sanjungan. Hal ini
perlu dijelaskan oleh guru bahwa pujian itu disebabkan oleh upaya dan
keunggulan siswa tersebut, sehingga siswa dapat memahaminya.
  Ibnu Jama’ah sangat menghindar dari penerapan
sanksi yang dapat menodai kemuliaan manusia dan merendahkan martabatnya. Jadi
sanksi itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku serta pengendaliannya
dengan kasih sayang. Sanksi perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang
baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian dan kemarahan.
3.     
Prinsip-Prinsip Pemberian
Penghargaan dan Sanksi
a.      
Prinsip-Prinsip Pemberian
Penghargaan
Pertama, penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. Untuk
membedakan antara ’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit, terutama bagi
yang belum terbiasa. Apalagi kebiasaan dan presepsi yang tertanam kuat dalam
pola pikir kita yang sering menyamakan kedua hal tersebut. Istilah atau
panggilan semacam ’anak shaleh’, anak pintar’ yang menunjukkan sifat ’pelaku’
tidak dijadikan alasan peberian penghargaan karena akan menimbulkan persepsi
bahwa predikat ’anak shaleh’ bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus menyebutkan
secara langsung perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah. Jadi komentar
seperti ”Kamu dikasih hadiah karena sebulan ini kamu benar-benar jadi anak
shaleh”, harus dirubah menjadi ”Kamu diberi hadiah bulan ini karena kerajinan
kamu dalam melaksanakan shalat wajib”.
Kedua, pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian
hadiah tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup
difungsikan hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja. Manakala proses
pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka hal
terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin
kepada anak tentang pembatasan ini.
Ketiga, penghargaan berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang
terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun
fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar-komentar pujian, seperti,
’Subhanallah’, Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara hadiah
perhatian fisik bisa berupa pelukan, atau acungan jempol.
Keempat, dimusyawarahkan kesepakatannya. Persepsi umum para orang
dewasa, kerap menyepelekan dan menganggap konyol celotehan anak. Bahwa anak
suka bicara ceplas-ceplos dan mementingkan diri sendiri memanglah benar, tetapi
itu bisa diatasi dengan beberapa kiat tertentu. Setiap anak yang ditanya
tentang hadiah yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan
barang-barang yang ia sukai. Maka disinilah ditunutut kepandaian dan kesabaran
seorang guru atau orang tua untuk mendialogkan dan memberi pengertian secara
detail sesuai tahapan kemamuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita
dapat terpenuhi.
Kelima, distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak orang lupa, bahwa
proses jauh lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang
dilakukan anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan
hasil yang akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya.
Orang yang cenderung lebih mengutramakan hasil tidak terlalu mempermasalahkan
apakah proses pencapaian hasil tersebut dilakukan secara benar atau salah,
halal atau haram.
Sebuah contoh bisa dilahat pada sekolah yang membuat buku penilaian
terhadap aktifitas shalat para siswa MTs. selama berada di rumah. Pihak sekolah
tidak memiliki cara untuk mengetahui kebenaran pengisian buku tersebut. Pihak
sekolah tidak merasa penting menilai alur proses yang terjadi dalam menumbuhkan
kebiasaan siswanya shalat, tetapi hanya menstandarkan pemberian hadiah pada
hasil saja, yaitu bukti yang tertera dalam buku pemantauan shalat tersebut.
b.     
Kelebihan dan kekurangan metode
pemberian penghargaan
Sebagaimana pendekatan-pendekatan pendidikan lainnya, pendekatan
ganjaran juga tidak bisa terlepas dari kelebihan dan kekuranagn. Untuk lebih
jelasnya akan dikemukakan bahwa pendekatan ganjaran memiliki banyak kelebihan
yang secara umum dapat disebutkan sebagai berikut:
1)     
Memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap jiwa anak didik untuk melakukan perbuatan yang positif dan
bersikap progresif.
2)     
Dapat menjadi pendorong bagi
anak-anak didik lainnya untuk mengikuti anak yang telah memperoleh pujian dari
gurunya; baik dalam tingkah laku, sopan santun ataupun semangat dan motivasinya
dalam berbuat yang lebih baik. Proses ini sangat besar kontribusinya dalam
memperlancar pencapaian tujuan pendidikan.
Di samping mempunyai kelebihan, pendekatan ganjaran juga memiliki
kelemahan antara lain:
1)     
Dapat menimbulkan dampak negatif
apabila guru melakukannya secara berlebihan, sehingga mungkin bisa
mengakibatkan murid menjadi merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari
teman-temannya. Sikap-sikap negatif yang mungkin timbul ini dijelaskan dalam
sebuah hadis Nabi SAW bahwa beliau mendengar seorang laki-laki memberi hadiah
kepada laki-laki lain, hadiahnya itu berlebih-lebihan. Berdasarkan kejadian
itu, maka Nabi SAW bersabda: “Engkau telah berbuat kerusakan di belakang
manusia.” (HR. Imam Bukhori). Praktek-praktek lain yang akan membawa akibat
negatif juga dianggap tidak baik. Oleh karena itu, guru-guru atau para pendidik
diharapkan dapat meninggalkan dari konskuensi yang berat hanya karena pemberian
ganjaran kepada anak didiknya.
2)     
Umumnya ganjaran membutuhkan alat
tertentu dan membutuhkan biaya, dll.
c.      
Prinsip-Prinsip Pemberian Sanksi
Pertama, kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik
yang tetap harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak.
Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan
kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan bahwa kita
yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf
atau mendapat pengaruh dari luar.
Memberikan komentar-komentar yang mengandung kepercayaan, harus
dilakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik berupa
caci maki, kemarahan maupun hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas akhir
setelah dilakukan berbagai cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan
pengertian kepada anak.
Kedua, hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian
hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman,
bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan
’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau
dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.
Ketiga, menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan
orangtua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi
kemarahan. Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya
keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian
hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan
kesalahan, menjadi tak efektif.
Kesalahan lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum
anak didiknya dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat yang panjang lebar
dan terus mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti ini sangat
tidak efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar, sebab anak
dalam kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasehat
tetapi kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.
Keempat, hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah
yang harus dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula
yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan
memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan
menerima hukuman, dan ia dalam kondosi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan
dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain
kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk
menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya.
Kelima, tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan hukuman tentu harus
melalui beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga akhirnya jadi yang
terberat. Untuk itu kita perlu merujuk kepada al-Qur’an, seperti apa konsep
tahapan hukuman yang dibicarakan disana. Salah satu jenis kesalahan yang
diterangkan secara jelas tahapan hukumannya adalah mengenai istri nusyuz.
Difirmankan Allah dalam surat
An-Nisa : 34, "...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar."
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa sanksi kependidikan dapat diberikan
dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima,
guru dapat mengikuti empat tahapan tersebut.
1)     
Melarang perbuatan itu didepan
siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya.
2)     
Jika anak tidak menghentikan, guru
dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal dengan isyarat.
3)     
Jjika anak tidak juga
menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras, agar yang dia
dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.
4)     
Jika anak tidak kunjung
menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak memperdulikannya.
 
d.     
Kelebihan dan Kekurangan metode
pemberian sanksi
Pendekatan hukuman dinilai memiliki kelebihan apabila dijalankan dengan
benar, yaitu:
1)     
Hukuman akan menjadikan
perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2)     
Murid tidak lagi melakukan
kesalahan yang sama.
3)     
Merasakan akibat perbuatannya
sehingga ia akan menghormati dirinya.
Sementara kekurangannya adalah apabila hukuman yang diberikan tidak
efektif, maka akan timbul beberapa kelemahan antara lain:
1)     
Akan membangkitkan suasana rusuh,
takut, dan kurang percaya diri.
2)     
Murid akan selalu merasa sempit
hati, bersifat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut
dihukum).
3)     
Mengurangi keberanian anak untuk
bertindak.
4.     
Kesetimbangan Penghargaan dan
Sanksi
Segala sesuatu perlu ukuran, perlu kesetimbangan. Yaitu proporsi ukuran
yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Belum tentu ukuran tersebut harus
berbagi sama. Kesetimbangan imbalan dan sanksi pun tidak berarti harus
diberikan dalam porsi sama, satu-satu.
Yang akan dipakai sebagai standar kesetimbangan adalah sama seperti
standar yang dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan dosa bagi
hamba-hambaNya. Seperti kita ketahui, Allah menjanjikan pahala bagi manusia,
untuk sekedar sebuah niat berbuat baik. Manakala niat itu diwujudkan dalam
bentuk sebuah amal, Allah akan membalasnya dengan pahala yang bukan hanya satu,
melainkan berlipat ganda. Sebaliknya, Allah mempersulit pemberian dosa bagi
hambaNya. Nita untuk bermaksiat belumlah dicatat sebagai dosa, kecuali niat itu
terelaksana, itupun bisa segera Dia hapuskan ketika kita segera beristigfar.
Kesetimbangan inilah yang harus kita teladani dalam memberikan imbalan
dan hukuman kepada anak. Kita harus mengutamakan dan mempermudah memberikan
penghargaan dan hadiah kepada anak dan meminimalkan pemberian hukuman.
Metode pemberian hukuman adalah cara terakhir yang dilakukan, saat
sarana atau metode lain mengalami kegagalan dan tidak mencapai tujuan. Saat itu
boleh melakukan penjatuhan sanksi. Dan ketika menjatukan sanksi harus mencari
waktu yang tepat serta sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan.
5.     
Ketika Hukuman Harus Diberikan
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW bersabda :
علَموا
الصَبيَ الصلاة ابن سبع سنين واضربوه عليها ابن عشر
Artinya : “Ajarilah
anak kecil shalat ketika ia berusia 7 (tujuh) tahun dan pukullah ia bila enggan
shalat ketika berusia 10 (sepuluh) tahun.”
Dalam hadits ini rasulullah SAW menyampaikan nasehat, yang didalamnya
terkandung cara mendidik anak yang dilandasi kasih sayang, dan menomor duakan
hukuman. Artinya, rasulullah SAW sama sekali tidak menganjurkan menghukum anak
yang belum pernah diajari dan dibiasakan.
Andai pun seorang pendidik harus menjatuhkan hukuman, itu harus
diduhului dengan pembiasaan, pengajaran dan bimbingan dengan penuh kesabaran
dan kasih sayang dalam rentan waktu 3 (tiga) tahun. 3 (tahun) adalah waktu yang
sudah cukup panjang untuk mendidik kebiasaan shalat anak, sehingga sangat wajar
jika diberi hukuman setelah 3 (tiga) tahun pembiasaan tersebut. Sekali lagi
proses pengajaran dan pembiasaannya makan waktu 3 (tiga) tahun.
D.   
Kesimpulan
Karena pengajaran merupakan aktivitas kependidikan, maka pendidik atau
guru harus memberikan yang terbaik untuk memotivasi setiap anak didiknya dengan
memilih metode yang berguna. Di samping itu pendidik boleh saja mempergunakan
ganjaran dan hukuman sebagai kekuatan-kekuatan yang memberi motivasi. Fitrah
manusia yang baik masyarakat lebih utamanya ganjaran ketimbang hukuman.
Kedudukan pendidik Muslim yang tinggi ini menjadikan ganjaran lebih menarik
perhatian. Ketika hukuman itu dilakukan dalam kesempatan-kesempatan, kiranya
harus dihubungkan dengan tujuan-tujuan pendidikan. Adanya asas hukuman jasmani
tidak diletakkan sebagai alasan untuk mempergunakan metode hukuman badaniah
dengan tanpa pandang bulu. Nabi SAW bersabda, “Allah cinta kepada orang-orang
yang berbuat baik dan lemah lembut dalam segala hal.” Maka tidak diragukan
lagi, bahwa pendidikan merupakan salah satu hal yang cinta akan kebajikan dan
kelembutan.
Oleh karena itu setiap pendidik hendaknya memperhatikan beberapa syarat
dalam pemberian hukuman, yaitu mengandung makna edukasi, harus tetap dalam
jalinan cinta kasih, dan sayang harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan
bagi anak didik, diikutkan dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan
kepada anak didik.
Referensi
 Irawati Istadi, Prinsip-Prinsip Pemberian Hadiah &
Hukuman. hlm. 79-80