Rabu, 10 April 2019

PENGUKURAN RANAH AFEKSI DAN PSIKOMOTOR

PENGUKURAN RANAH AFEKSI DAN PSIKOMOTOR

Disusun Oleh:
Abdul Fatah, M.Pd.

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Penilaian adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak. Dengan kata lain, penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Salah satu prinsip dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam rangka evaluasi hasil belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif), dan pengamalannya (aspek psikomotor).
Ketiga aspek atau ranah kejiwaan itu erat sekali dan bahkan tidak mungkin dapat dilepaskan dari kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar. Namun realitasnya, pendidikan di tanah air terjebak pada ranah kognitif baik dalam tujuan, proses pembelajaran maupun evaluasinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap ranah afektif dan psikomotor, disamping pengembangan alat ukur dan pengukuran terhadap hasil belajar dalam ke dua ranah tersebut yang lebih rumit dan sulit dibandingkan dengan yang ada pada ranah kognitif.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang pengukuran ranah afeksi dan psikomotor.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengukuran ranah afeksi itu?
2.      Bagaimanakah pengukuran ranah psikomotor itu?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengukuran Ranah Afeksi
1.    Pengertian Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Sikap merupakan konsep psikologis yang kompleks, sikap berakar dalam perasaan. Anastasi mendefenisikan sikap sebagai kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap sesuatu objek. Birrent mendefenisikan sikap sebagai kumpulan hasil evaluasi seseorang terhadap objek, orang atau masalah tertentu. Sikap menentukan bagaimana keperibadian seseorang diekspresikan, oleh karena itu, melalui sikap seseorang kita dapat mengenal siapa orang itu sebenarnya.[1]
Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tujuan-tujuan pendidikan yang berkaitan dengan minat (interst), sikap (attitude), penghargaan (appreciation) dan penyesuaian (adjusment) dikategorikan dalam ranah afektif. Dalam perspketif evaluasi, jika dalam ranah kognitif yang diukur adalah “Apakah yang bisa dilakukan oleh peserta didik?”, dalam ranah ini yang menjadi objek pengukuran adalah “Apakah yang biasa dilakukan oleh peserta didik?”[2]
Penilaian hasil belajar afektif kurang mendapat perhatian dari guru. Para guru lebih banyak menilai ranah kognitif semata-mata. Tipe hasil penilaian afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial.
Sekalipun bahan pelajaran berisi ranah kognitif, ranah afektif harus menjadi bagian integral dari bahan tersebut dan harus tampak dalam proses belajar dan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.[3]
2.    Pengukuran Ranah Afektif
Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek emosional seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya. Di dalamnya mencakup penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), tata nilai (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization).[4]
Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan:
a.    Menerima (receiving),
Jenjang ini berhubungan dengan kesediaan atau kemauan siswa untuk ikut dalam fenomena atau stimuli khusus (kegiatan dalam kelas, musik, baca buku, dan sebagainya). Dipandang dari segi pengajaran, jenjang ini berhubungan dengan menimbulkan, mempertahankan, dan mengarahkan perhatian siswa. Hasil belajar dalam jenjang ini berjenjang mulai dari kesadaran bahwa sesuatu itu ada sampai kepada minat khusus dari pihak siswa.
b.    Menjawab (responding)
Kemampuan ini bertalian dengan partisipasi siswa. Pada tingkat ini, siswa tidak hanya menghadiri suatu fenomena tertentu tetapi juga mereaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Hasil belajar dalam jenjang ini dapat menekankan kemauan untuk menjawab (misalnya secara sukarela membaca tanpa ditugaskan) atau kepuasan dalam menjawab (misalnya membaca untuk kenikmatan atau kegembiraan).
c.    Menilai (valuing)
Jenjang ini bertalian dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap suatu objek, fenomena, atau tingkah laku tertentu. Jenjang ini berjenjang mulai dari hanya sekedar penerimaan nilai (ingin memperbaiki keterampilan kelompok) sampai ke tingkat komitmen yang lebih tinggi (menerima tanggung jawab untuk fungsi kelompok yang lebih efektif).
d.   Organisasi (organization)
Tingkat ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan/memecahkan konflik di antara nilai-nilai itu, dan mulai membentuk suatu sistem nilai yang konsisten secara internal. Jadi, memberikan penekanan pada membandingkan, menghubungkan dan mensistesiskan nilai-nilai. Hasil belajar bertalian dengan konseptualisasi suatu nilai (mengakui tanggung jawab tiap individu untuk memperbaiki hubungan-hubungan manusia) atau dengan organisasi suatu sistem nilai (merencanakan suatu pekerjaan yang memenuhi kebutuhannya baik dalam hal keamanan ekonomis maupun pelayanan sosial).
e.    Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai (characterization by a value or value complex)
Pada jenjang ini individu memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”. Jadi, tingkah lakunya menetap, konsisten, dan dapat diramalkan. Hasil belajar meliputi sangat banyak kegiatan, tapi penekanan lebih besar diletakkan pada kenyataan bahwa tingkah laku itu menjadi ciri khas atau karakteristik siswa itu.[5]
3.    Pengaplikasian Penilaian Afektif
Penilaian afektif (sikap) sangat menentukan keberhasilan peserta didik untuk mencapai ketuntasan dan keberhasilan dalam pembelajaran. Seorang peserta didik yang tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran tertentu, maka akan kesulitan untuk mencapai ketuntasan belajar secara maksimal. Sedangkan peserta didik yang memiliki minat terhadap mata pelajaran, maka akan sangat membantu untuk mencapai ketuntasan pembelajaran secara maksimal.
Secara umum aspek afektif yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran terhadap berbagai mata pelajaran mencakup beberapa hal, sebagai berikut:
a.    Penilaian sikap terhadap materi pelajaran. Berawal dari sikap positif terhadap mata pelajaran akan melahirkan minat belajar, kemudian mudah diberi motivasi serta lebih mudah dalam menyerap materi pelajaran.
b.    Penilaian sikap terhadap guru. Peserta didik perlu memiliki sikap positif terhadap guru, sehingga ia mudah menyerap materi yang diajarkan oleh guru.
c.    Penilaian sikap terhadap proses pembelajaran. Peserta didik perlu memiliki sikap positif terhadap proses pembelajaran, sehingga pencapaian hasil belajar bisa maksimal. Hal ini kembali kepada guru untuk pandai-pandai mencari metode yang kira-kira dapat merangsang peserta didik untuk belajar serta tidak merasa jenuh.
d.   Penilaian sikap yang berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran. Misalnya peserta didik mempunyai sikap positif terhadap upaya sekolah melestarikan lingkungan dengan mengadakan program penghijauan sekolah.
e.    Penilaian sikap yang berkaitan dengan kompetensi afektif lintas kurikulum yang relevan dengan mata pelajaran. Peserta didik memiliki sikap positif terhadap berbagai kompetensi setiap kurikulum yang terus mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan.[6]
Sedangkan untuk mengukur sikap dari beberapa aspek yang perlu dinilai, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: observasi perilaku, pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan penggunaan skala sikap. Observasi perilaku di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan yang khusus tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan siswa selama di sekolah.[7]
B.  Pengukuran Ranah Psikomotor
1.    Pengertian Ranah Psikomotor
Perkataan psikomotor berhubungan dengan kata “motor, sensory-motor atau perceptual-motor”. Jadi, ranah psikomotor berhubungan erat dengan kerja otot sehingga menyebabkan geraknya tubuh atau bagian-bagiannya. Yang termasuk ke dalam klasifikaksi gerak di sini mulai dari gerak yang paling sederhana yaitu melipat kertas sampai dengan merakit suku cadang televisi serta komputer. Secara mendasar perlu dibedakan antara dua hal yaitu keterampilan (skills) dan kemampuan (abilities).[8]
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima
pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotorik apabila peserta didik telah menunjukan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.[9]
Hasil belajar ranah psikomotor adalah hasil belajar yang berkaitan dengan ketrampilan atau kemampuan bertindak setelah murid menerima pengalaman belajar tertentu; namun yang perlu diingat ialah bahwa ketrampilan dalam hal menghafal suatu bahan pengajaran bukanlah termasuk hasil-hasil psikomotor, melainkan termasuk hasil kognitif, yaitu kemampuan mengingat kembali (recall).[10]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek psikomotorik dalam pengajaran adalah lebih mengorientasikan pada proses tingkah laku atau pelaksanaan, dimana sebagai fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang didapat lewat kognitif, dan diinternalisasikan lewat afektif sehingga mengorganisasikan dan diaplikasikan dalam bentuk nyata oleh domain psikomotorik.
2.    Pengukuran Ranah Psikomotor
Pengukuran ranah psikomotorik dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang berupa penampilan. Namun demikian biasanya pengukuran ranah ini disatukan atau dimulai dengan pengukuran ranah kognitif sekaligus. Misalnya penampilannya dalam menggunakan termometer diukur mulai dari pengetahuan mereka mengenai alat tersebut, pemahaman tentang alat dan penggunaannya (aplikasi), kemudian baru cara menggunakannya dalam bentuk ketrampilan.[11]
Ada enam tingkatan keterampilan psikomotoris yakni:
a.    Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar).
b.    Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.
c.    Kemampuan perseptual termasuk didalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris dan lain-lain.
d.   Kemampuan di bidang fisik misalnya kekuatan, keharmonisan dan ketetapan.
e.    Gerakan-gerakan skill mulai dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks.
f.       Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.[12]
Walaupun ranah psikomotorik meliputi enam jenjang kemampuan, namun masih dapat dikelompokan dalam tiga kelompok utama, yakni keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, dan koordinasi neuromuscular. Maka, kata-kata kerja operasional yang dapat dipakai adalah:
a.    Keterampilan motorik (muscular or motor skills): memperlihatkan gerak, menunjukan hasil (pekerjaan tangan), menggerakan, menampilkan, melompat, dan sebagainya.
b.    Manipulasi benda-benda (manipulation of materials or objects): menyusun, membentuk, memindahkan, menggeser, mereparasi, dan sebagainya.
c.    Koordinasi neoromuscular: menghubungkan, mengamati, memotong, dan sebagainya.[13]
3.    Pengaplikasian Penilaian Psikomotor
Penilaian Psikomotorik dicirikan oleh adanya aktivitas fisik dan keterampilan kinerja oleh siswa serta tidak memerlukan penggunaan kertas dan pensil/pena. Seperti yang dinyatakan oleh Bloom dalam bukunya Ismet Basuki dan Hariyanto yang berjudul Asesmen Pembelajaran. Bloom mengatakan bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui ketrampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Siswa melaksanakan suatu tugas tertentu yang memerlukan ketrampilan, misal dalam praktik berpidato pada pembelajaran bahasa Indonesia, Praktik Shalat dalam pelajaran agama, praktik olahraga dalam pendidikan jasmani, praktik-praktik di laboratorium IPA, praktik menjahit, memasak makanan dan menyajikan hidangan dalam pelajaran keterampilan rumah tangga, dan lain sebagianya.
Dengan kata lain, kegiatan belajar yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotorik adalah praktik di aula/lapangan, di bengkel, dan praktikum di laboratorium. Dalam kegiatan-kegiatan praktik itu juga ada ranah kogitif dan afektifnya. Dalam hubungan ini guru melakukan pengamatan untuk menilai dan menentukan apakah siswa sudah terampil atau belum, memerlukan kerja sama kelompok dinilai keterampilan kerja sama siswa serta ketrampilan kepemimpinan siswa dan lain sebagainya.[14]
Tujuan-tujuan pendidikan yang berkaitan dengan gerak fisik yang manipulatif dikategorikan dalam ranah psikomotor. Ranah ini juga diklasifikasikan menjadi 7 sub-ranah. Seperti yang dinyatakan oleh Bloom dalam bukunya Masrukhin yang berjudul Pengembangan Sistem Evaluasi Pendidikan Agama Islam, mengatakan bahwa ketujuh sub-ranah tersebut antara lain: persepsi (perception), kesiapan (set), respon terpimpin (guieded response), mekanisme (mechanism), respon tamplak yang komplek (complex overt response), penyesuaian (adaption), dan penciptaan (origination).[15]
Ketujuh sub-ranah tersebut, oleh Simpson (1972) dijabarkan sebagai berikut:
a.    Persepsi (perception)
Sub-ranah pertama psikomotorik ini merujuk pada penggunaan organ-organ indrawi peserta didik untuk mendapatkan ‘gambaran’ atau ‘kunci’ yang dapat membimbing gerak atau aktivitas motorik. Dalam sub ranah ini kemampuan yang ditunjukkan meliputi kesadaran adanya rangsangan, pemilihan terhadap ‘kunci’ yang relevan dengan tugas atau ketrampilan yang akan dipelajari, sampai dengan penerjemahan ‘kunci’ tersebut ke dalam perbuatan dalam bentuk kinerja.
b.    Kesiapan (set)
Sub-ranah ini berkaitan dengan kesiapan untuk mengambil tindakan tertentu; baik dalam bentuk kesiapan mental, fisik, maupun emosional
c.    Respon terbimbing (guided response)
Respon terbimbing tahap awal dari belajar terhadap ketrampilan yang kompleks. Respon yang demikian ini meliputi imitasi (mengulangi perbuatan yang ditunjukkan oleh guru) dan trial-and-error (menggunakan pendekatan multi-respon untuk memilih yang tepat). Ketepatan kinerja, dalam hal ini berdasarkan seperangkat kriteria yang ditetapkan oleh guru.
d.   Gerakan terbiasa (mechanism)
Sub-ranah ini berkaitan dengan tindakan-tindakan di mana respon yang dipelajari telah menjadi kebiasaan, dan gerakan-gerakannya dilakukan dengan percaya diri dan profesional. Hasil belajar dalam sub-ranah ini sudah ditunjukkan dengan berbagai bentuk ketrampilan, namun belum kompleks.
e.    Respon kompleks (complex overt response)
pada tahap ini peserta didik telah mampu melakukan gerakan atau aktivitas dengan mahir yang meliputi pola-pola gerak yang kompleks. Profisiensi dalam sub-ranah ini diindikasikan dengan mengeluarkan sedikit energi. Termasuk dalam kategori ini adalah jika peserta didik telah mampu mengatasi keragu-raguan, gerakan-gerakannya dilakukan secara otomatis.
f.     Adaptasi (adaptation)
Adaptasi berkaitan dengan berbagai ketrampilan yang telah dikembangkan dengan bagus sehingga peserta didik mampu memodifikasi pola-pola gerakan yang dilakukan, untuk disesuaikan dengan situasi atau problem yang dihadapi.
g.    Originasi (origination)
Originasi merujuk pada penciptaan pola-pola gerakan atau pola kemahiran baru untuk diterapkan dalam situasi khusus atau problem yang khusus. Hasil belajar dalam sub-ranah ini ditunjukkan dengan adanya kreativitas sempurna dan orisinal yang didasarkan atas ketrampilan tingkat tinggi.[16]
Dalam asesmen psikomotorik, tujuan pembelajaran disesuaikan dengan ranah psikomotor. R.H. Dave (1970) membagi hasil belajar ranah psikomotor menjadi lima tahap yaitu:
a.    Imitasi (imitation)
Imitasi adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya. Contohnya menendang bola dengan gerakan yang sama persis dengan yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya.
b.    Manipulasi (manipulation)
Manipulasi adalah kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum pernah dilihatnya tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja. Misalnya seorang siswa dapat melempar lembing hanya mengandalkan petunjuk dari guru.
c.    Presisi (precision)
Presisi adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan akurat sehingga mampu menghasilkan produk kerja yang presisi. Misalnya melakukan tendangan pinalti sesuai dengan yang di targetkan (masuk gawang lawan).
d.   Artikulasi (articulation)
Artikulasi yaitu kemampuan melakukan kegiatan kompleks dan ketepatan sehingga produk kerjanya utuh. Misalnya melempar bola ke teman sebagai umpan untuk ditendang kearah gawang lawan.
e.    Naturalisasi (naturalization)
Naturalisasi yaitu kemampuan melakukan kegiatan secara refleks yaitu kegiatan melibatkan fisik saja sehingga efektivitas kerja tinggi. Misal secara refleks seseorang memegang tangan seorang anak kecil yang sedang bermain dijalan raya ketika sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi hal ini terjadi agar terhindar dari kecelakaan tertabrak.[17]
Menurut Ryan (1980) sebagaimana dikutip oleh Mimin Haryati, penilaian hasil belajar psikomotor dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, pertama melalui pengamatan langsung serta penilaian tingkah laku siswa selama proses belajar mengajar. Kedua, setelah proses belajar yaitu dengan cara memberikan tes kepada siswa untuk mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ketiga, beberapa waktu setelah proses belajar selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian, penilaian hasil belajar psikomotor atau ketrampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu: (1) receiving, (2) responding, (3) valuing, (4) organization, (5) characterization by a value or value complex. Sedangkan untuk mengukur sikap dari beberapa aspek yang perlu dinilai, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: observasi perilaku, pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan penggunaan skala sikap. Observasi perilaku di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan yang khusus tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan siswa selama di sekolah.
2.    Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima
pengalaman belajar tertentu. Ranah ini juga diklasifikasikan menjadi 7 sub-ranah, antara lain: (1) perception, (2) set, (3) guieded response, (4) mechanism, (5) complex overt response, (6) adaption, dan (7) origination. Penilaian hasil belajar psikomotor dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian, penilaian hasil belajar psikomotor atau ketrampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk.
B.  Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, dalam segala rangkaian kata-kata dari awal hingga akhir tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu tidak ada usaha yang lebih berharga kecuali melakukan kritik konstruktif setiap elemen pembangun dalam makalah ini, demi perbaikan dan kebaikan semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada pembaca pada umumnya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2011. Perencanaan Pembelajaran. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Anas Sudjono. 2013. Pengantar Evaluasi Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Daryanto. 2012. Evaluasi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Ismet Basuki, Hariyanto. 2014. Asesmen Pembelajaran. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Masrukhin. 2016. Pengembangan Sistem Evaluasi Pendidikan Agama Islam. Media Ilmu Press. Kudus.
Mimin Haryati. 2009.  Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan. Gaung Persada Press. Jakarta.
Mohammad Muchlis Solichin. 2012. Psikologi Belajar: Aplikasi Teori-Teori Belajar Dalam Proses Pembelajaran. Suka Press. Yogyakarta.
Mulyadi. 2014. Evaluasi Pendidikan; Pengembangan Model Evaluasi Pendidikan Agama di Sekolah. UIN-Maliki Press. Malang.
Nana Sudjana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Shodiq Abdullah. 2012. Evaluasi Pembelajaran; Konsep Dasar, Teori dan Aplikasi. Pustaka Rizki Putra. Semarang.
Sitti Mania. 2012. Pengantar Evaluasi Pengajaran. Alauddin University Press. Makassar.
Suharsimi Arikunto. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.



[1] Sitti Mania, Pengantar Evaluasi Pengajaran, Alauddin University Press, Makassar, 2012, hlm. 32.
[2] Shodiq Abdullah, Evaluasi Pembelajaran; Konsep Dasar, Teori dan Aplikasi, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012, hlm. 30.
[3] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hlm. 29-30
[4] Mohammad Muchlis Solichin, Psikologi Belajar: Aplikasi Teori-Teori Belajar Dalam Proses Pembelajaran, Suka Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 87.
[5] Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 117-118.
[6] Mimin Haryati,  Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, Gaung Persada Press, Jakarta, 2009, hlm. 62-63.
[7] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011, hlm.215
[8] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 122.
[9] Anas Sudjono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 57-58.
[10] Mulyadi, Evaluasi Penddikan; Pengembangan Model Evaluasi Pendidikan Agama di Sekolah, UIN-Maliki Press, Malang, 2014, hlm. 9.
[11] Suharsimi Arikunto, Op.cit., hlm. 182.
[12] Nana Sudjana, Op.cit., hlm. 31.
[13] Daryanto, Op.cit., hlm. 123-124.
[14] Ismet Basuki dan Hariyanto, Asesmen Pembelajaran, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hlm. 209-210.
[15] Masrukhin, Pengembangan Sistem Evaluasi Pendidikan Agama Islam, Media Ilmu Press, Kudus, 2016, hlm. 20.
[16] Shodiq Abdullah, Op.cit., hlm. 35-38.
[17] Mimin Haryati, Op.cit., hlm. 27.