PENGUKURAN RANAH
AFEKSI DAN PSIKOMOTOR
Disusun Oleh:
Abdul Fatah, M.Pd.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penilaian
adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah
ditetapkan itu tercapai atau tidak. Dengan kata lain, penilaian berfungsi
sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar
dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah,
yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Salah
satu prinsip dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam
rangka evaluasi hasil belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip
evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi
secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap
materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari
segi penghayatan (aspek afektif), dan pengamalannya (aspek psikomotor).
Ketiga
aspek atau ranah kejiwaan itu erat sekali dan bahkan tidak mungkin dapat
dilepaskan dari kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar. Namun realitasnya,
pendidikan di tanah air terjebak pada ranah kognitif baik dalam tujuan, proses
pembelajaran maupun evaluasinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh lemahnya
pemahaman terhadap ranah afektif dan psikomotor, disamping pengembangan alat
ukur dan pengukuran terhadap hasil belajar dalam ke dua ranah tersebut yang
lebih rumit dan sulit dibandingkan dengan yang ada pada ranah kognitif.
Oleh
karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang pengukuran ranah afeksi dan
psikomotor.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengukuran
ranah afeksi itu?
2. Bagaimanakah pengukuran
ranah psikomotor itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengukuran Ranah Afeksi
1.
Pengertian Ranah Afektif
Ranah
afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Sikap merupakan konsep psikologis
yang kompleks, sikap berakar dalam perasaan. Anastasi mendefenisikan sikap
sebagai kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap
sesuatu objek. Birrent mendefenisikan sikap sebagai kumpulan hasil evaluasi
seseorang terhadap objek, orang atau masalah tertentu. Sikap menentukan
bagaimana keperibadian seseorang diekspresikan, oleh karena itu, melalui sikap
seseorang kita dapat mengenal siapa orang itu sebenarnya.[1]
Beberapa
ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila
seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tujuan-tujuan
pendidikan yang berkaitan dengan minat (interst), sikap (attitude),
penghargaan (appreciation) dan penyesuaian (adjusment)
dikategorikan dalam ranah afektif. Dalam perspketif evaluasi, jika dalam ranah
kognitif yang diukur adalah “Apakah yang bisa dilakukan oleh peserta
didik?”, dalam ranah ini yang menjadi objek pengukuran adalah “Apakah yang biasa
dilakukan oleh peserta didik?”[2]
Penilaian
hasil belajar afektif kurang mendapat perhatian dari guru. Para guru lebih
banyak menilai ranah kognitif semata-mata. Tipe hasil penilaian afektif tampak
pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran,
disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan
belajar, dan hubungan sosial.
Sekalipun
bahan pelajaran berisi ranah kognitif, ranah afektif harus menjadi bagian
integral dari bahan tersebut dan harus tampak dalam proses belajar dan hasil
belajar yang dicapai oleh siswa.[3]
2.
Pengukuran Ranah Afektif
Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek emosional seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral
dan sebagainya. Di dalamnya mencakup penerimaan (receiving/attending),
sambutan (responding), tata nilai (valuing), pengorganisasian (organization),
dan karakterisasi (characterization).[4]
Ranah afektif meliputi
lima jenjang kemampuan:
a.
Menerima (receiving),
Jenjang ini
berhubungan dengan kesediaan atau kemauan siswa untuk ikut dalam fenomena atau
stimuli khusus (kegiatan dalam kelas, musik, baca buku, dan sebagainya).
Dipandang dari segi pengajaran, jenjang ini berhubungan dengan menimbulkan,
mempertahankan, dan mengarahkan perhatian siswa. Hasil belajar dalam jenjang
ini berjenjang mulai dari kesadaran bahwa sesuatu itu ada sampai kepada minat
khusus dari pihak siswa.
b.
Menjawab (responding)
Kemampuan ini
bertalian dengan partisipasi siswa. Pada tingkat ini, siswa tidak hanya
menghadiri suatu fenomena tertentu tetapi juga mereaksi terhadapnya dengan
salah satu cara. Hasil belajar dalam jenjang ini dapat menekankan kemauan untuk
menjawab (misalnya secara sukarela membaca tanpa ditugaskan) atau kepuasan
dalam menjawab (misalnya membaca untuk kenikmatan atau kegembiraan).
c.
Menilai (valuing)
Jenjang ini
bertalian dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap suatu objek, fenomena,
atau tingkah laku tertentu. Jenjang ini berjenjang mulai dari hanya sekedar
penerimaan nilai (ingin memperbaiki keterampilan kelompok) sampai ke tingkat
komitmen yang lebih tinggi (menerima tanggung jawab untuk fungsi kelompok yang
lebih efektif).
d.
Organisasi (organization)
Tingkat ini
berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda,
menyelesaikan/memecahkan konflik di antara nilai-nilai itu, dan mulai membentuk
suatu sistem nilai yang konsisten secara internal. Jadi, memberikan penekanan
pada membandingkan, menghubungkan dan mensistesiskan nilai-nilai. Hasil belajar
bertalian dengan konseptualisasi suatu nilai (mengakui tanggung jawab tiap
individu untuk memperbaiki hubungan-hubungan manusia) atau dengan organisasi
suatu sistem nilai (merencanakan suatu pekerjaan yang memenuhi kebutuhannya
baik dalam hal keamanan ekonomis maupun pelayanan sosial).
e.
Karakterisasi dengan suatu nilai
atau kompleks nilai (characterization by a value or value complex)
Pada jenjang
ini individu memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu
waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”. Jadi,
tingkah lakunya menetap, konsisten, dan dapat diramalkan. Hasil belajar meliputi
sangat banyak kegiatan, tapi penekanan lebih besar diletakkan pada kenyataan
bahwa tingkah laku itu menjadi ciri khas atau karakteristik siswa itu.[5]
3. Pengaplikasian Penilaian Afektif
Penilaian
afektif (sikap) sangat menentukan keberhasilan peserta didik untuk mencapai
ketuntasan dan keberhasilan dalam pembelajaran. Seorang peserta didik yang
tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran tertentu, maka akan kesulitan
untuk mencapai ketuntasan belajar secara maksimal. Sedangkan peserta didik yang
memiliki minat terhadap mata pelajaran, maka akan sangat membantu untuk
mencapai ketuntasan pembelajaran secara maksimal.
Secara
umum aspek afektif yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran terhadap
berbagai mata pelajaran mencakup beberapa hal, sebagai berikut:
a. Penilaian sikap terhadap materi
pelajaran. Berawal dari sikap positif terhadap mata pelajaran akan melahirkan
minat belajar, kemudian mudah diberi motivasi serta lebih mudah dalam menyerap
materi pelajaran.
b. Penilaian sikap terhadap guru. Peserta
didik perlu memiliki sikap positif terhadap guru, sehingga ia mudah menyerap
materi yang diajarkan oleh guru.
c. Penilaian sikap terhadap proses
pembelajaran. Peserta didik perlu memiliki sikap positif terhadap proses
pembelajaran, sehingga pencapaian hasil belajar bisa maksimal. Hal ini kembali
kepada guru untuk pandai-pandai mencari metode yang kira-kira dapat merangsang
peserta didik untuk belajar serta tidak merasa jenuh.
d. Penilaian sikap yang berkaitan dengan
nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran. Misalnya
peserta didik mempunyai sikap positif terhadap upaya sekolah melestarikan
lingkungan dengan mengadakan program penghijauan sekolah.
e.
Penilaian
sikap yang berkaitan dengan kompetensi afektif lintas kurikulum yang relevan
dengan mata pelajaran. Peserta didik memiliki sikap positif terhadap berbagai
kompetensi setiap kurikulum yang terus mengalami perkembangan sesuai dengan
kebutuhan.[6]
Sedangkan
untuk mengukur sikap dari beberapa aspek yang perlu dinilai, dapat dilakukan
dengan beberapa cara, antara lain: observasi perilaku, pertanyaan langsung,
laporan pribadi, dan penggunaan skala sikap. Observasi perilaku di sekolah
dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan yang khusus tentang
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan siswa selama di sekolah.[7]
B. Pengukuran Ranah
Psikomotor
1.
Pengertian Ranah Psikomotor
Perkataan
psikomotor berhubungan dengan kata “motor, sensory-motor atau
perceptual-motor”. Jadi, ranah psikomotor berhubungan erat dengan kerja
otot sehingga menyebabkan geraknya tubuh atau bagian-bagiannya. Yang termasuk
ke dalam klasifikaksi gerak di sini mulai dari gerak yang paling sederhana
yaitu melipat kertas sampai dengan merakit suku cadang televisi serta komputer.
Secara mendasar perlu dibedakan antara dua hal yaitu keterampilan (skills)
dan kemampuan (abilities).[8]
Ranah
psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill)
atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima
pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotorik apabila peserta didik telah menunjukan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.[9]
pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotorik apabila peserta didik telah menunjukan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.[9]
Hasil
belajar ranah psikomotor adalah hasil belajar yang berkaitan dengan ketrampilan
atau kemampuan bertindak setelah murid menerima pengalaman belajar tertentu;
namun yang perlu diingat ialah bahwa ketrampilan dalam hal menghafal suatu
bahan pengajaran bukanlah termasuk hasil-hasil psikomotor, melainkan termasuk
hasil kognitif, yaitu kemampuan mengingat kembali (recall).[10]
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa aspek psikomotorik dalam pengajaran adalah lebih
mengorientasikan pada proses tingkah laku atau pelaksanaan, dimana sebagai
fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang didapat lewat kognitif, dan
diinternalisasikan lewat afektif sehingga mengorganisasikan dan diaplikasikan
dalam bentuk nyata oleh domain psikomotorik.
2. Pengukuran Ranah
Psikomotor
Pengukuran
ranah psikomotorik dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang berupa
penampilan. Namun demikian biasanya pengukuran ranah ini disatukan atau dimulai
dengan pengukuran ranah kognitif sekaligus. Misalnya penampilannya dalam
menggunakan termometer diukur mulai dari pengetahuan mereka mengenai alat
tersebut, pemahaman tentang alat dan penggunaannya (aplikasi), kemudian baru
cara menggunakannya dalam bentuk ketrampilan.[11]
Ada enam
tingkatan keterampilan psikomotoris yakni:
a. Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak
sadar).
b. Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.
c. Kemampuan perseptual termasuk didalamnya membedakan
visual, membedakan auditif, motoris dan
lain-lain.
d. Kemampuan di bidang fisik misalnya kekuatan, keharmonisan
dan ketetapan.
e. Gerakan-gerakan skill mulai dari ketrampilan sederhana
sampai pada ketrampilan yang kompleks.
f. Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non decursive seperti gerakan
ekspresif dan interpretatif.[12]
Walaupun
ranah psikomotorik meliputi enam jenjang kemampuan, namun masih dapat
dikelompokan dalam tiga kelompok utama, yakni keterampilan motorik, manipulasi
benda-benda, dan koordinasi neuromuscular. Maka, kata-kata kerja operasional yang
dapat dipakai adalah:
a. Keterampilan motorik (muscular or motor skills): memperlihatkan gerak, menunjukan hasil
(pekerjaan tangan), menggerakan, menampilkan, melompat, dan sebagainya.
b. Manipulasi benda-benda (manipulation of materials or objects): menyusun, membentuk,
memindahkan, menggeser, mereparasi, dan sebagainya.
c. Koordinasi neoromuscular: menghubungkan,
mengamati, memotong, dan sebagainya.[13]
3. Pengaplikasian Penilaian Psikomotor
Penilaian Psikomotorik dicirikan
oleh adanya aktivitas fisik dan keterampilan kinerja oleh siswa serta tidak memerlukan
penggunaan kertas dan pensil/pena. Seperti yang dinyatakan oleh Bloom dalam
bukunya Ismet Basuki dan Hariyanto yang berjudul Asesmen Pembelajaran. Bloom
mengatakan bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang
pencapaiannya melalui ketrampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan
fisik. Siswa melaksanakan suatu tugas tertentu yang memerlukan ketrampilan,
misal dalam praktik berpidato pada pembelajaran bahasa Indonesia, Praktik
Shalat dalam pelajaran agama, praktik olahraga dalam pendidikan jasmani,
praktik-praktik di laboratorium IPA, praktik menjahit, memasak makanan dan
menyajikan hidangan dalam pelajaran keterampilan rumah tangga, dan lain
sebagianya.
Dengan kata lain, kegiatan
belajar yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotorik adalah praktik di
aula/lapangan, di bengkel, dan praktikum di laboratorium. Dalam
kegiatan-kegiatan praktik itu juga ada ranah kogitif dan afektifnya. Dalam
hubungan ini guru melakukan pengamatan untuk menilai dan menentukan apakah
siswa sudah terampil atau belum, memerlukan kerja sama kelompok dinilai
keterampilan kerja sama siswa serta ketrampilan kepemimpinan siswa dan lain
sebagainya.[14]
Tujuan-tujuan pendidikan yang
berkaitan dengan gerak fisik yang manipulatif dikategorikan dalam ranah psikomotor.
Ranah ini juga diklasifikasikan menjadi 7 sub-ranah. Seperti yang dinyatakan
oleh Bloom dalam bukunya Masrukhin yang berjudul Pengembangan Sistem Evaluasi
Pendidikan Agama Islam, mengatakan bahwa ketujuh sub-ranah tersebut antara
lain: persepsi (perception), kesiapan (set), respon terpimpin (guieded
response), mekanisme (mechanism), respon tamplak yang komplek (complex
overt response), penyesuaian (adaption), dan penciptaan (origination).[15]
Ketujuh sub-ranah tersebut, oleh
Simpson (1972) dijabarkan sebagai berikut:
a.
Persepsi (perception)
Sub-ranah pertama psikomotorik
ini merujuk pada penggunaan organ-organ indrawi peserta didik untuk mendapatkan
‘gambaran’ atau ‘kunci’ yang dapat membimbing gerak atau aktivitas motorik.
Dalam sub ranah ini kemampuan yang ditunjukkan meliputi kesadaran adanya
rangsangan, pemilihan terhadap ‘kunci’ yang relevan dengan tugas atau
ketrampilan yang akan dipelajari, sampai dengan penerjemahan ‘kunci’ tersebut
ke dalam perbuatan dalam bentuk kinerja.
b.
Kesiapan (set)
Sub-ranah ini berkaitan dengan
kesiapan untuk mengambil tindakan tertentu; baik dalam bentuk kesiapan mental,
fisik, maupun emosional
c.
Respon terbimbing (guided
response)
Respon terbimbing tahap awal
dari belajar terhadap ketrampilan yang kompleks. Respon yang demikian ini
meliputi imitasi (mengulangi perbuatan yang ditunjukkan oleh guru) dan trial-and-error
(menggunakan pendekatan multi-respon untuk memilih yang tepat). Ketepatan
kinerja, dalam hal ini berdasarkan seperangkat kriteria yang ditetapkan oleh
guru.
d.
Gerakan terbiasa (mechanism)
Sub-ranah ini berkaitan dengan
tindakan-tindakan di mana respon yang dipelajari telah menjadi kebiasaan, dan
gerakan-gerakannya dilakukan dengan percaya diri dan profesional. Hasil belajar
dalam sub-ranah ini sudah ditunjukkan dengan berbagai bentuk ketrampilan, namun
belum kompleks.
e.
Respon kompleks (complex overt
response)
pada tahap ini peserta didik
telah mampu melakukan gerakan atau aktivitas dengan mahir yang meliputi
pola-pola gerak yang kompleks. Profisiensi dalam sub-ranah ini diindikasikan
dengan mengeluarkan sedikit energi. Termasuk dalam kategori ini adalah jika
peserta didik telah mampu mengatasi keragu-raguan, gerakan-gerakannya dilakukan
secara otomatis.
f.
Adaptasi (adaptation)
Adaptasi berkaitan dengan
berbagai ketrampilan yang telah dikembangkan dengan bagus sehingga peserta
didik mampu memodifikasi pola-pola gerakan yang dilakukan, untuk disesuaikan
dengan situasi atau problem yang dihadapi.
g.
Originasi (origination)
Originasi
merujuk pada penciptaan pola-pola gerakan atau pola kemahiran baru untuk
diterapkan dalam situasi khusus atau problem yang khusus. Hasil belajar dalam
sub-ranah ini ditunjukkan dengan adanya kreativitas sempurna dan orisinal yang
didasarkan atas ketrampilan tingkat tinggi.[16]
Dalam asesmen
psikomotorik, tujuan pembelajaran disesuaikan dengan ranah psikomotor. R.H.
Dave (1970) membagi hasil belajar ranah psikomotor menjadi lima tahap yaitu:
a. Imitasi
(imitation)
Imitasi
adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan
yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya. Contohnya
menendang bola dengan gerakan yang sama persis dengan yang dilihat atau
diperhatikan sebelumnya.
b. Manipulasi
(manipulation)
Manipulasi
adalah kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum pernah dilihatnya
tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja. Misalnya seorang siswa
dapat melempar lembing hanya mengandalkan petunjuk dari guru.
c. Presisi
(precision)
Presisi
adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan akurat sehingga mampu menghasilkan
produk kerja yang presisi. Misalnya melakukan tendangan pinalti sesuai dengan
yang di targetkan (masuk gawang lawan).
d. Artikulasi
(articulation)
Artikulasi
yaitu kemampuan melakukan kegiatan kompleks dan ketepatan sehingga produk
kerjanya utuh. Misalnya melempar bola ke teman
sebagai umpan untuk ditendang kearah gawang lawan.
e. Naturalisasi
(naturalization)
Naturalisasi yaitu kemampuan melakukan kegiatan secara
refleks yaitu kegiatan melibatkan fisik saja sehingga
efektivitas kerja tinggi. Misal secara refleks seseorang memegang tangan
seorang anak kecil yang sedang bermain dijalan raya ketika sebuah mobil melaju
dengan kecepatan tinggi hal ini terjadi agar terhindar dari kecelakaan
tertabrak.[17]
Menurut Ryan
(1980) sebagaimana dikutip oleh Mimin Haryati, penilaian hasil belajar psikomotor
dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, pertama melalui pengamatan
langsung serta penilaian tingkah laku siswa selama proses belajar mengajar. Kedua,
setelah proses belajar yaitu dengan cara memberikan tes kepada siswa untuk
mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ketiga, beberapa waktu
setelah proses belajar selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Dengan
demikian, penilaian hasil belajar psikomotor atau ketrampilan harus mencakup
persiapan, proses, dan produk.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap
dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat,
sikap, emosi, dan nilai. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima
jenjang, yaitu: (1) receiving, (2) responding, (3) valuing, (4)
organization, (5) characterization by a value or value complex. Sedangkan untuk mengukur sikap dari beberapa aspek yang
perlu dinilai, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: observasi
perilaku, pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan penggunaan skala sikap.
Observasi perilaku di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan
yang khusus tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan siswa selama di
sekolah.
2. Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan
keterampilan (skill) atau kemampuan
bertindak setelah seseorang menerima
pengalaman belajar tertentu. Ranah ini juga diklasifikasikan menjadi 7 sub-ranah, antara lain: (1) perception, (2) set, (3) guieded response, (4) mechanism, (5) complex overt response, (6) adaption, dan (7) origination. Penilaian hasil belajar psikomotor dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian, penilaian hasil belajar psikomotor atau ketrampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk.
pengalaman belajar tertentu. Ranah ini juga diklasifikasikan menjadi 7 sub-ranah, antara lain: (1) perception, (2) set, (3) guieded response, (4) mechanism, (5) complex overt response, (6) adaption, dan (7) origination. Penilaian hasil belajar psikomotor dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian, penilaian hasil belajar psikomotor atau ketrampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk.
B. Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, dalam segala rangkaian kata-kata dari awal hingga akhir tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu tidak ada usaha yang lebih berharga kecuali
melakukan kritik konstruktif setiap elemen pembangun dalam makalah ini, demi
perbaikan dan kebaikan semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan kepada pembaca pada umumnya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Majid. 2011. Perencanaan Pembelajaran. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Anas
Sudjono. 2013. Pengantar Evaluasi Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Daryanto. 2012. Evaluasi
Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Ismet
Basuki, Hariyanto. 2014. Asesmen Pembelajaran. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Masrukhin.
2016. Pengembangan Sistem Evaluasi Pendidikan Agama Islam. Media Ilmu
Press. Kudus.
Mimin
Haryati. 2009. Model dan Teknik
Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan. Gaung Persada Press. Jakarta.
Mohammad
Muchlis Solichin. 2012. Psikologi Belajar: Aplikasi Teori-Teori Belajar
Dalam Proses Pembelajaran. Suka Press. Yogyakarta.
Mulyadi.
2014. Evaluasi Pendidikan; Pengembangan Model Evaluasi Pendidikan Agama di
Sekolah. UIN-Maliki Press. Malang.
Nana
Sudjana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Shodiq
Abdullah. 2012. Evaluasi Pembelajaran; Konsep Dasar, Teori dan Aplikasi.
Pustaka Rizki Putra. Semarang.
Sitti
Mania. 2012. Pengantar Evaluasi Pengajaran. Alauddin University Press.
Makassar.
Suharsimi Arikunto.
2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.
[2] Shodiq Abdullah, Evaluasi Pembelajaran; Konsep Dasar, Teori dan
Aplikasi, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012, hlm. 30.
[3] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hlm. 29-30
[4] Mohammad Muchlis Solichin, Psikologi
Belajar: Aplikasi Teori-Teori Belajar Dalam Proses Pembelajaran, Suka
Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 87.
[5]
Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm.
117-118.
[6] Mimin Haryati, Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat
Satuan Pendidikan, Gaung Persada Press, Jakarta, 2009, hlm. 62-63.
[8] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi
Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 122.
[9] Anas Sudjono, Pengantar Evaluasi
Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 57-58.
[10] Mulyadi, Evaluasi Penddikan; Pengembangan Model Evaluasi
Pendidikan Agama di Sekolah, UIN-Maliki Press, Malang, 2014, hlm. 9.
[11] Suharsimi Arikunto, Op.cit., hlm. 182.
[14] Ismet
Basuki dan Hariyanto, Asesmen Pembelajaran, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2014, hlm. 209-210.
[15] Masrukhin, Pengembangan Sistem Evaluasi Pendidikan Agama Islam,
Media Ilmu Press, Kudus, 2016, hlm. 20.
[16] Shodiq Abdullah, Op.cit., hlm. 35-38.